Sekitar jam sembilan malam Wildan baru sampai di Rumah Sakit, padahal niatnya sejak sore ia berangkat ke Rumah Sakit untuk menemani Puti. Ia tidak tau jelasnya bagaimana dan apa yang membuat perselisihan antara Puti dan Pandu beberapa hari lalu. Kadang Wildan hanya bertemu Pandu sebentar di rumah, namun tidak pernah bertemu Pandu di Rumah Sakit. Puti bilang, Pandu tidak pernah datang lagi, tapi yang Wildan dengar dari perawat, Pandu sudah selesai melakukan prosedur untuk operasinya. Hanya tinmggal menunggu tanggalnya saja.
Sebenarnya bingung, bagaimana ia harus bertindak untuk Puti dan Pandu. Padahal sedang di masa-masa seperti ini, Puti juga drop lagi, dan lagi-lagi harus mengundur terapinya. Dokter tidak mau mengambil resiko melakukan kemoterapi dan radioterapi saat tubuh Puti sendiri sedang tidak fit, resikonya besar. Jadi mereka harus menunggu.
“Wil.. kamu dateng?”
“Hm, sorry aku datengnya malem. Di vet tadi chaos banget.”
Puti sekadar menarik senyum, pandangannya mengekori Wildan menyimpan tas dan melenggang ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Untuk sesaat Puti hanya diam, mendengarkan suara air dari kamar mandi. Pandangannya terpaku pada langit-langit polos tanpa ornamen apapun.
Pikirannya mengawang, bertanya Pandu sedang apa, bertanya apa Pandu sudah makan, dan sebagainya. Badan Puti rasanya sakit, ia harap Pandu yang terus di sampingnya. Tapi tidak bisa juga, salah Puti membahas sesuatu yang buat Pandu jadi menjauh seperti sekarang. Seandainya waktu bisa diulang, Puti tidak akan meminta hal-hal aneh kemarin pada Pandu. Pasti saat ini, Puti masih bisa bersama Pandu.
“Tidur Put, makin malem loh.”
“Hmm.” Tapi Puti hanya menyahut, ia agak bergeser, memberi ruang agar Wildan bisa berbaring di sampingnya. Tentu awalnya Wildan menolak, sampai Puti meyakinkan Wildan kalau ia tidak akan kenapa-napa, kalau memang Puti ingin dengan Wildan.
Wildan bersandar agak tinggi, mempersilakan lengan kanannya menjadi bantalan Puti. Membiarkan istrinya terlelap di lengannya. Tangannya mengelus-elus kening Puti, matanya lekat memandang Puti yang coba untuk terlelap. Wajahnya pucat, meski tidak sepucat kemarin-kemarin.
“Operasi aku kapan Wil?”
“Nunggu kamu terapi sekali lagi Put.”
“Kapan?”
“Aku belum tau, dokter masih nunggu kamu fit dulu.”
“Aku udah gak papa kok.”
“Iya.” Senyum Wildan, ia daratkan kecupan di pucuk kepala Puti. “Tidur.” kali itu benar-benar untuk pertama kalinya bagi Wildan juga Puti.
Puti tidak menjawab, tidak mengindahkan perintah Wildan juga. Kepalanya agak bangkit, melepas nasal kanul yang sudah berapa hari ini terus terpasang.
“Put, kanulanya?”
“Gak papa.. cuma sebentar. Aku pake itu berasa gak bisa nyium apa-apa.”
Wildan diam.
“Aku mau nyium bau kamu.”
“Bau sabun kok aku.”
Puti terkekeh lucu, “Kan abis mandi.”
Wildan terbahak, sebenarnya memang tidak lucu, tapi ia tetap tertawa. Ia biarkan Puti merebahkan kepala di lengannya lagi, Wildan elisi lagi kepala Puti meski tertutup topi rajut. Jujur, dadanya sakit sekali ketika ia lihat Puti membotak. Pengobatannya begitu keras, tapi ia yakin Puti kuat.
“Wil.”
“Ya?”
“Inget gak, dulu.. pas kita ketemuan bertiga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Proposal (BL 20+) [COMPLETE]
RomanceKetika kamu berjuang untuk membahagiakan, namun juga harus belajar memberi dan mengikhlaskan. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝐑𝟐𝟎+, harap bijak dalam memilih dan membaca cerita. publikasi pertama : 15 September 2...