Ring : 18

1.9K 223 56
                                    

Pandu hanya diam memandangi dirinya di depan cermin, tubuhnya hanya sekadar dibaluti selimut. Sejenak lebih lama ia pandangi dirinya, sebelum akhirnya ia bulatkan tujuannya, melenggang ke luar kamar, melangkah tanpa rasa ingin kembali. Membuka pintu, masuk, dan duduk disana. Pandu menunggu, ia hanya menunduk, melihat lututnya yang tidak seluruhnya tertutup oleh selimut. Jantungnya berdebar dengan cepat, begitu juga pikirannya, seperti berputar sama cepatnya.

“P-pandu?” Wildan yang baru keluar dari kamar mandi di kamarnya seketika bingung. Matanya membelalak tidak percaya. Ia bicara terbata-bata, langkahnya juga ragu, sebernanynya, tapi ia tetap melangkah, mengambil selimut yang Pandu lepas di lantai. Ia pakaikan cepat-cepat pada Pandu, menutupi seutuhnya. “Pandu. Kamu kenapa?”

“Puti bilang aku harus gantiin dia kan?”

“H-hah?”

“Puti udah gak ada, aku gantinya kan?”

Kedua mata Wildan makin melebar, ia remat selimut dalam genggamannya, berusaha tetap mebuat tubuh Pandu tertutup. Ia pandangin kedua mata Pandu, mencoba menenggelamkan dirinya sendiri di sana, mencari tau ada apa yang ternyata hanya hampa. Wildan yakin, Pandu bukan menjadi dirinya malam ini.

“Wil-”

“Pandu, stop. Maksud Puti bukan kayak gini. Y-ya, ya puti bilang kita bisa sama-sama tapi bukan kayak gini Pandu. Kamu paham kan?”

Pandu diam, tatapannya kosong menatap Wildan.

“Pandu, denger aku.” Wildan tarik napasnya perlahan, “Maksud Puti bukan kayak gini Pandu, kita sama-sama, tapi bukan begini. Sekalipun kita- sekali pun kita ada dalam satu hubungan, seks bukan segalanya. Aku gak mau kamu kayak gini. Kamu gak harus kayak gini.”

Pandu masih diam, matanya belum beralih dari tatapan Wildan, tapi airmatanya sudah berjatuhan.

“Pandu.”

“Terus aku harus apa? Apa yang bisa aku lakuin buat jadi gantinya Puti?”

“Pandu! Sadar!”

“Aku sadar.” Pandu makin terisak. “Aku sadar Wildan..”

“Nggak. Kalo kamu sadar, kamu gak akan kayak gini. Pandu, please.. gak harus gini.”

“Puti bilang kamu gay-”

“Ya aku gay tapi gak gini Pandu. Gak gini.”  Suara Wildan sampai benar-benar bergetar, Pandu yang mendengarnya juga sampai kesakitan. Hingga pelukan Wildan pun sama sekali tidak bisa menyelamatkan.

Pipinya basah, Pandu mengerjap, dadanya sakit bukan main. Ia melihat jam masih sekitar jam dua pagi. Entah kenapa Pandu bisa memimpikan hal yang sama lagi. Hal yang sudah lama sekali berlalu, hal yang seharusnya Pandu tidak pernah memimpikannya lagi, harusnya Pandu bisa melupakannya, tanpa perlu ia ingat lagi.

Karena mimpi tersebut, Pandu jadi ingat semuanya, padahal memang sudah lama sekali berlalu. Kala ini, saat awal-awal Pandu masih harus beradaptasi dengan pikiran juga stresnnya akan kepergian Puti, bahkan karena mimpi tersebut, Pandu juga jadi ingat tentang percobaan bunuh dirinya. Pandu ingin lupa, sungguh. Kini ia sudah bisa menerima dirinya, harusnya Pandu bisa melupakannya, tapi kenapa tidak bisa?

Pandu mengelap airmatanya, melenggang ke luar kamar pelan-pelan, takut Wildan di kamarnya mendengar. Pandu sekadar duduk di meja makan, menggengami air hangat di dalam cangkirnya. Pandu tidak berharap ia bisa kembali mengantuk, Pandu hanya berharap ia lupa, ia tenang, Pandu tidak mau kembali dimana ia mengalami stres yang begitu parah.

Ia lirikan matanya, jam dinding di dapur menunjukan pukul setengah lima. Ternyata Pandu sudah cukup lama bengong disana. Hanya duduk diam berjam-jam tanpa mencari bantuan apa-apa. Ia bangkit dari kursi meja makan, mencari bahan makanan di kulkas, mungkin Pandu bisa masak untuk mengalihkan seluruh pikirannya. Masih terlalu pagi memang untuk membuat sarapan, tapi Pandu tidak mau kembali ke kamar dan mengingat semuanya.

Proposal (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang