Ring : 15

2K 234 39
                                    

Siang itu di pemakaman umum ramai dengan orang-orang yang berkabung. Karangan bunga turut berbelasungkawa pun tak henti-hentinya berdatangan. Puti Artika, 28 tahun, dinyatakan meninggal pukul 6:23 pagi.

Langit mendung seakan ikut bersedih, meski tau airmata Pandu tidak lagi menitik. Tangisan bukan satu-satunya hal untuk mengungkapkan kesedihan, orang-orang yang datang pasti tau, meski tidak memangis, dalamnya Pandu sudah sangat hancur.

Keluarga besar Wildan seluruhnya datang, rekan kerja Puti, kerabat yang lain, bahkan Kepala Sekolah serta beberapa guru dari SMA dan tempat Les dimana Pandu mengajar pun datang untuk melayat. Mereka mengantar Puti ke tempat peristirahatan terakhir.

Friska, atasan Puti yang sudah bertahun-tahun bekerja bersama Puti sama sekali tidak bisa menghentikan airmatanya, dadanya sesak. Ia tidak menyangka kalaun Puti tidak sekuat seperti yang selama ini ia pikirkan. Meski Friska ikhlas, karena sakit Puti sudah tidak ada, karena Puti kini sudah lebih sehat di sisi Sang Pencipta.

Perhatian orang-orang yang datang untuk berkabung sesekali tertuju pada dua pria yang berdiri berdampingan ini. Keduanya yang paling merasa kehilangan Puti. Bagaimana tidak? Pandu saudara kembar Puti, dan Wildan suami Puti. Mungkin beberapa di antara mereka tau pula, soal masa lalu ketiganya, selalu bersama-sama di Panti Asuhan, sempat terpisah dan berakhir dipersatukan.

Levi datang. Begitu ia dengar kabar dari teman seangkatannya dulu, ia langsung datang. Masa bodo dengan kuliah. Ia merasa mengenal Pandu, ia tau benar bagaimana berjuangnya seorang Pandu untuk Puti, namun keluarga satu-satunya Pandu ini pergi, dan baru empat hari lalu kata pisah diucapkan secara gamblang oleh Levi. Harusnya Levi mau mendengarkan penjelasan Pandu soal keadaan, namun ia sudah lebih dulu dibutakan kecewa dengan Pandu yang seolah tidak menganggapnya ada. Levi paham Pandu sedang susah, tapi Levi juga ada bukan disaat Pandu senang saja.

“Kak..”

Pandu menoleh, setelah tadinya hanya diam memandangi makam Puti. Ia sampai harus disiku Wildan, baru ia sadar kalau Levi memanggil. “Levi.” Senyumnya mengambang lirih.

“Gue turut berduka.”

“Iya, makasih. Makasih udah repot-repot dateng.”

“Hm.” Levi diam lagi, ia melirik pria di samping Pandu yang ia tau suaminya Puti, ketika pandangannya kembali lagi pada Pandu, mantan kekasihnya itu juga sudah kembali memandangi makan saudaranya. “Kak.”

“Ya?” Pandu baru menoleh ketika ia mendapatkan pelukan erat dari Levi. Ia hanya diam, tidak membalas.

Can we talk..?”

Semula Pandu hanya diam, nada suara Levi terdengar menyakitkan. Perlahan ia mendorong Levi, menghentikan pelukannya, mengembang senyuman dan menggelengkan kepalanya. “Maaf Levi.”

Give me a chance.”

“Saya gak bisa. Maksud saya.. kita gak harus ngobrol apa-apa lagi, soal hubungan kita. Mungkin yang kamu rasain sakarang ke saya karena kamu iba, terima kasih. Tapi kamu bener, saya gak akan bisa berubah. Gak sekarang, gak setelah ini. Di luar sana, masih banyak orang yang lebih baik, yang lebih pantes sama kamu, yang bisa lebih ngerti kamu. Bukan saya.”

Levi diam, meski Pandu mengatakannya dengan suara amat pelan tapi Levi bisa mendengar dengan jelas apa yang Pandu katakan.

Tidak. Pandu buklannya menolak Levi, Levi paham itu. Pandu hanya sedang memberikan Levi kesempatan, untuk mendapat pasangan yang lebih baik dari Pandu. Levi menghargai keputusan Pandu, seperti ketika Pandu menghargai keputusannya untuk berpisah empat hari lalu. Levi ingat Pandu tidak membantah, Pandu tidak mencari keadilan untuk dirinya sendiri, mungkin kini harus Levi lakukan, sebagai bentuk membalas perasaan Pandu.

Proposal (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang