Ring : 32

1.9K 180 37
                                    

“Wil.”

“Hmm.”

“Kamu masih gak mau nikahin Pandu apa?” Liani menoleh, anak sulungnya itu masih menyikat botol susu tanpa menoleh sedikit pun padanya. “Ya Mama tau, nikah gak begitu penting buat kalian, tapi kan anak-anak juga udah makin gede Wil. Mau sampe kapan?”

“Kita gak pernanh ngomongin itu Ma.”

“Kenapa? Pandu masih gak mau? Atau kamu gak yang gak pernah nanya? Kan Pandu orangnya gak enakan.”

“Pandu bukan gak mau, ya.. ya nggak aja. Lagian gak ada efek apa-apa nikah atau nggak.”

“Nikah nggak, tunangan nggak. Status kalian kan berarti sekarang masih pacaran.”

“Pacaran juga gak ada salahnya kan?”

“Wil-”

“Kita gak perlu nikah-nikah gitu Ma. Untuk apa sih? Lagian kalo anak-anak udah gede juga... kenapa? Gak ada hubungannya Ma. Kita gak nikah tapi kita udah punya semua kok. Aku ada, Pandu ada, anak-anak, kalian, lengkap kan?”

Liani tarik napasnya dalam, kehabisan kata-kata. Ia yang semula menemani Wildan di dapur memilih kembali ke ruang tengah, merapikan pakaian ketiga anak Wildan dan Pandu.

Wildan di dapur juga turut diam, tidak memperpanjang. Ia yakin masalah soal nikah ini tidak akan ada habisnya. Tidak menikah sebenarnya bukan pilihan Wildan dan Pandu, hanya saja mereka memilih untuk tidak membahasnya. Terlebih Pandu, sejak dulu Pandu menolak, Wildan diam, tidak membahas apa-apa lagi soal menikah. Keduanya saling menghargai, itu saja.

Tapi tentu berbeda dengan pemikirian orangtua seperti Liani. Tidak akan aneh jika di pikiran orang-orang barat, punya anak tanpa menikah bukan sesuatu yang gimana-gimana. Tapi tentu jadi janggal untuk Liani. Perempuan tiga anak ini juga bukannya tidak merestui, hanya kurang sejalan dengan hatinya saja membiarkan Wildan dan Pandu bersama sampai punya anak tapi belum menikah.

Ya Wildan sebenarnya paham kenapa Liani masih punya pemikiran seperti itu, tidak seperti ayahnya, karena Liani orang Tnaha Air, seperti Wildan, Liani besar di Tanah Air dan penuh dengan didikan yang sejalan sebagaimana mestinya sejak kecil. Berbeda dengan Wildan, ia rasanya lebih lama tinggal bersama Sean di banding di Tanah Air. Cara didiknya juga sudah beda. Karena hal itu pula awalnya Liani menentang teramat sangat soal Wildan yang gay. Bahkan sampai bercerai dengan Sean pun karena itu.

Liani pikir kehidupan orang barat yang mempengaruhi Wildan, ia kecewa dengan Sean karena menyuruh Wildan melanjutkan sekolah di sini, bukan di Tanah Air. Padahal kalau ditarik ke belakang, Wildan rasanya sudah tertarik dengan Pandu sejak masih di panti. Bercerai dengan Sean menjadi jalan terakhir karena Liani dan Sean pikir mereka tidak bisa menyelamatkan keluarga mereka. Meski sejalannya waktu Liani lunak juga dengan hal-hal berbau gay. Ia akhirnya bisa menerima, karena bagaimana pun Wildan tetap anaknya.

Kini soal menikah. Wildan tidak heran, ia sejak dulu sudah mengira hari ini akan datang, hari dimana Liani menagih status ia juga Pandu, karena Wildan juga teramat tau bagaimana watak ibunya ini. Wildan bukannya tidak mau menikahi Pandu, ia mau, tapi tentu kalau Pandu juga siap. Wildan tidak mau pernikahannya terwujud hanya kerena keinginan sepihak. Dan benar, Wildan butuh apa lagi? Ia sudah punya Pandu, ada ketiga anak mereka juga, seluruh keluarganya juga sudah ada di negara bahkan kota yang sama. Wildan kurang apa lagi? Tidak ada.

Baginya menikah tidak penting, bisa hidup bersama keluarganya yang terpenting.

“Wil?”

“Hmm.” Sahutnya pelan, seraya menyimpan botol minum untuk Pandu di nakas. Wildan lekas membanting diri di kasur, membiarkan kedua anak laki-lakinya menepuk-nepuk kepala Wildan, juga memainkan rambutnya yang mengembang.

Proposal (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang