Ring : 20

2.1K 219 32
                                    

Kata setuju terucap, artinya Pandu akan benar-benar ikut Wildan ke Amerika, memulai kehidupan mereka berdua disana. Wildan memberi tau ayahnya, sang ayah justru yang mengurus segala keperluan di sana. Sejak Pandu menyatakan ia yakin untuk ikut Wildan, keduanya juga lekas mengurus hal-hal yang diperlukan, paspor, visa, dan segala macamnya.

Sekiranya butuh satu bulan sejak Pandu menyatakan akan ikut mereka akan berangkat, mereka akan meninggalkan Tanah Air dan tinggal di negri orang. Wildan akan melanjutkan kuliah S2 disana, sembari bekerja di Rumah Sakit ayahnya. Pandu masih belum memutuskan untuk lanjut kuliah atau malah cari kerja disana. Belum ia bicarakan dengan Wildan, lagipula masih Pandu pikirkan. Meski Wildan sempat menawarkan untuk melanjutkan pendidikan sepertinya. Wildan tidak masalah jika Pandu mau, tapi tentu jadi masalah untuk Pandu. Lagi-lagi soal uang.

Mungkin Pandu akan mencari kerja saja, kalau bisa itu juga. Kalau memang tidak bisa, ya ia di rumah saja, mungkin bisa sambil mengajar online untuk muridnya di Tanah Air. Entah, belum Pandu pikirkan, padahal mereka berangkat kurang dari sebulan lagi.

Sebagian barang sudah dikirim sedikit-sedikit, mereka masih rajin mengepak. Memang tidak semua dibawa, tapi ya mereka harus mengosongkan apartemen, agar bisa disewakan pada yang lain. Barang Pandu tidak banyak, apalagi Wildan, rasanya Wildan tidak perlu mengepak pakaian karena pakaiannya disana juga ada. Ah, Pandu pun juga sama. Wildan memberi saran, tidak perlu membawa semua pakaian yang ia punya, bawa yang sekiranya masih ingin ia kenakan, sisanya disumbangkan. Pandu setuju, toh pikir Pandu, kalau ia bawa semua pakaian hanya akan memberat-beratakan bawaan.

Yang mereka bingung adalah barang-barang  milik Puti. Masih rapi tanpa pernah diubah sedikit pun, meski sudah hampir setahun sejak kematiannya. Bahkan beberapa kado nikah, juga seserahan masih ada yang belum dibuka. Wildan dan Pandu hanya diam, duduk termengu di sofa sembari memandangi barang-barang yang ditinggal pemiliknya ini.

“Terus?”

Wildan angkat bahu, ia menoleh, “Aku terserah kamu, kamu yang lebih berhak aku rasa.”

“Bantu aku mikir juga.”

“Hmm.”

Pandu kembali diam, matanya tertuju pada kotak-kotak berisi pakaian Puti. “Baju-bajunya kita sumbangin aja? Masih bagus-bagus loh.”

“Boleh. Gak mau kamu jual preloved gitu?”

“Nggak, sumbangin aja ya?”

“Ya terserah. Kamu pilihin dulu, barang kali kamu mau nyimpen baju Puti.”

“Umm.” Pandu mengangguk pelan, dan menyandarkan lagi punggungnya. “Terus yang lainnya?”

“Nanti kita pilihin, kita pikirin enaknya gimana. Mau kamu sumbangin ya silakan, kamu simpen juga gak papa. Lagian di kamar aku itu masih ada barang-barang seserahan yang belum dia buka loh.”

Pandu menarik napas dalam, kini kepalanya yang ikut bersandar. Kembali mengenang pernikahan Puti dengan Wildan. Mana bisa Pandu lupa, hari itu Pandu lihat Puti tersenyum amat lebar, sangat. Pandu rasa Puti tidak pernah sebahagia itu sebelumnya. Setelah Pandu pikirkan, ternyata Puti bukan bahagia karena ia menikah dengan Wildan, tapi karena akhirnya mereka bertiga bisa sama-sama. Andai ia tidak membaca seluruh isi diary Puti, Pandu tidak akan tau semua.

“Semua diarynya aku bawa ya?”

“Um. Gak mungkin juga dibuang. Di bawa aja.” Cengir Wildan dengan kerutan kening yang terlihat jelas. “Sementara ini sih aku kirim barang-barang kita ke rumah Papa dulu, nanti juga kita paling tinggal disana dulu, sekalian aku nyari apartemen. Ya?”

“Oke.”

“Aku maunya liat langsung kalo nyari apartemen, aku mau kamu ikut milih juga. Biar sama-sama enak, kamu nyamannya yang gimana.”

Proposal (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang