Ring : 22

2.1K 210 40
                                    

Rumah bergaya kalsik di pinggiran kota, dengan halaman hijau luas mengelilingi serta tanaman penghias, pohon mapel merah besar, dan pohon mawar putih yang dipagar rendah oleh semak hijau tertata rapi. Pandu tidak menyangka kalau yang dikatakan Wildan bahwa ayahnya menyediakan rumah adalah benar-bvenar rumah, Pandu kira hanya apartemen biasa, seperti ia tinggal di Tanah Air, ternyata tidak sama sekali. Rumah tiga lantai termasuk besmen dan garasi menjadi tempat tinggal Wildan dan Pandu sejak sebulan lau.

Bukan hanya Pandu yang terheran-heran kenapa ada pohon mawar putih di rumah, Wildan juga. Ia baru merencakana akan menanami mawar putih di halaman, begitu ia tiba ternyata sudah ada. Siapa lagi kalau bukan ayahnya? Dan siapa memangnya yang tidak mengenal Puti? Seluruh keluarga Wildan tau, dan bagaimana cerita keseluruhan Wildan, Puti bahkan Pandu. Semua tau. Anggaplah pohon mawar putih yang tumbuh subur disana untuk Puti.

Sekiranya memang baru sebulan mereka mentap disana. Rumahnya diberikan Sean sudah full dengan frunitur, mobil juga sudah disediakan, meski tidak terpakai karena Wildan kasih kagok menyetir di sebelah kiri. Untuk sebulan pertama, Wildan dan Pandu masih mengurusi soal rumah, sesekali Wildan mengurus soal kuliah dan pekerjaannya di Rumah Sakit hewan.

Sebenarnya Rumah Sakit Umum, tadi memang berafiliasi dengan Rumah Sakit Hewan, tidak tepat di belakang Rumah Sakit, hanya berdekatan, ada di satu lahan yang luas. Wildan akan melanjutkan kerja disana sambil menyelesaikan kuliahnya. Pandu sendiri belum terpikirkan untuk kerja atau apa, ia masih membiasakan diri, adaptasi dengan segalanya. Semuanya serba baru untuk Pandu.

Tinggal berdua di negara orang ternyata penuh tantangan. Ya Pandu memang sudah terbiasa tinggal berdua, tapi di negaranya. Pandu paham dengan bahasanya tapi tidak dengan kebiasaannya. Awal-awal, Pandu enggan keluar sendiri, selalu menunggu untuk pergi bersama Wildan, ya belanja bahan makanan atau keperluan rumah. Berhubung kalau siang Wildan kadang ke Rumah Sakit, jadi Pandu lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Menata besmen yang diperuntukan untuk gudang tapi tidak terlihat seperti gudang sama sekali. Dari depan rumahnya memang hanya terlihat seperti dua lantai saja, tapi begitu masuk jadi tiga lantai. Tidak besar, tidak kecil juga.

Pandu baru terbangun begitu ia dengar suara dari dapur di bawah. Matanya mengerjap melihat Pintu kamar tidak tertutup sempurna. Ia menoleh ke belakang, ternyata hari baru sudah datang lagi, dan lagi-lagi ia bangun paling akhir. Selalu Wildan yang bangun lebih dulu, pun meski sudah berkali-kali minta dibangunkan, tidak dilakukan juga oleh Wildan.

Pandu bangkit setelah meregangkan tubuh, ia turun dari kasur dan mengenakan pakaian yang sudah lebih dulu disiapkan Wildan. Pandu menguap panjang, bukan karena masih mengantuk, tapi memang seluruh nyawanya belum kumpul semua.

"Wil.."

"Hei." senyum Wildan lekas melebar, ia simpan piring di meja dan melangkah mendekati Pandu, memeluk, mengucap selamat pagi dengan penuh kasih. "Nyenyak?"

"Hmm."

"Teh atau kopi?"

"Apa aja." pandangan Pandu mengekori Wildan yang sudah kembali ke dapur. "Masak apa?"

"Tuna, gak papa ya? Udah aku bumbuin lagi kok kayak yang suka kamu buat. Kita belum belanja lagi."

"Hari ini kamu kemana?"

"Harusnya sih gak kemana-mana. Kan weekend. Cuma ya kamu tau sendiri Papa suka resek tiba-tiba nyuruh kesana."

Pandu terkekeh. Ia kenal bagaimana Sean, bahkan Helen, istri Sean. Meski tidak ada hubungan apa-apa, Helen tetap menganggap Wildan keluarga, begitu juga sebaliknya. Kini ditambah Pandu, yang rasanya tiap berkunjung selalu kena tanya kapan nikah?

Memang tidak sebegitu dipikirkan lagi oleh Pandu, ia juga paham Sean dan Helen hanya bercanda. Namun tetap, urusan menikah meski sudah tinggal di negara yang melegalkan, Pandu tetap tidak mau buru-buru. Wildan juga sama, ia menghargai Pandu dan segala keputusannya.

Proposal (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang