Chapter 22

23 15 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim ✨

Chapter 22

.
.
.

Nggak kerasa udah banyak aja chapternya.

Terima kasih ya yang masih selalu stay dengan cerita ini 🖤

.
.
.

🕊️

"Bunda, kok Mas Rafka perginya mendadak?" tanya Arya saat melihat bundanya pulang.

Riyana tersenyum. Ia harus bisa untuk bersandiwara di depan anak bungsunya.

"Iya, soalnya Mas Rafka udah kangen banget sama nenek," jawab Riyana.

Ya, Riyana memberi alasan pada Arya bahwa Rafka sedang pulang ke kampung karena kangen dengan kakek neneknya.

Arya tak percaya, "masa, sih? Tapi tadi kata Mas Jeky Mas Arya di bawa ke rumah sakit? Terus ini kok bunda pulangnya sendirian? Ayah mana?"

Riyana terdiam, memikirkan jawaban untuk pertanyaan dari putranya. "E, itu, apa ya? Si ayah masih ada urusan, tadi memang Mas Rafka di bawa ke rumah sakit, tapi sekarang sudah sembuh, dan langsung minta anter ke terminal, Mas Rafka pengin ketemu sama nenek kakek di kampung."

"Tapi kok nggak bilang dulu sama Arya?" tanya Arya.

Riyana terdiam, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "e, e, Mas Rafka perginya mendadak."

Arya menyipitkan matanya, "jawaban bunda kok dari tadi kaya gugup? Bunda bohongin Arya, ya?"

"Enggak! Bunda nggak bohong, udah dulu, ya, bunda mau mandi, gerah, nih," jawab Riyana langsung.

"Ya udah. Arya juga mau main, assalamualaikum," ucap Arya menyalami tangan Riyana.

"Waalaikumussalam, hati-hati, jangan Maghrib pulangnya," pesan Riyana.

Arya keluar rumah dan pergi menuju tanah lapang. Ngeliat orang lagi menerbangkan layangan.

"Rafka gimana kabarnya, Ya?" tanya Geri saat mereka sedang duduk di atas rumput.

"Alhamdulillah baik, Mas Rafka sekarang lagi ke kampung, kangen sama nenek kakek katanya," jawab Arya.

Jeky mengerut kan keningnya, "loh? Bukannya Rafka sakit, ya?"

"Udah sembuh dia, kata bunda, setelah sadar dia minta di antar ke terminal, dia mau ketemu sama nenek di kampung," kata Arya.

Jeky hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, "eh, Syarif juga sakit tau, tadi pagi nyokapnya datengin rumah gue, nitip amplop, gue kira gue di kasih duit, eh, taunya surat dari dokter."

"Oh, ya?" Arya sedikit terkejut, "bukannya pas itu Mas Syarif sakit terus udah sembuh, ya? Kok sekarang sakit lagi?"

Jeky mengangkat bahunya tanda ia tak tahu, "yang namanya penyakit kan nggak ada yang tahu, Ya."

Arya mengangguk, ia lalu fokus pada layangan yang sedang diterbangkan. Tiba-tiba ia kepikiran Rafka.

"Mas Rafka kenapa, ya? Kok perasaan gue gak enak?" Batinnya.

"Eh, Syarif juga kan katanya mau ikut menerbangkan layangan kaya yang lain, kok dia nggak dateng, ya?" tanya Geri sambil menatap arah yang kira-kira bakal dilalui oleh Syarif.

"Syarif kan lagi sakit, jadi dia nggak mungkinlah dateng kesini," jawab Jeky.

Arya masih melamun, ia tiba-tiba kepikiran Rafka. Perasaan tak enak mulai muncul pada dirinya.

"Ohh, jajan, yuk," ajak Geri.

Jeky mengangguk, "ayo. Ya, lo mau ikut jajan nggak?"

Arya masih diam. Tatapannya juga kosong.

"Ya?" panggil Jeky.

Jeky sedikit mengangkat dagunya pada Geri, Geri hanya mengangkat bahunya.

"Arya!" Kali ini bukan cuma panggilan, tetapi Jeky juga memegang lengan Arya.

Arya sedikit tersentak, "iya? Kenapa, Mas?"

"Lo yang kenapa? Lo ngelamunin apa sih, Ya? Sampe gue panggil nggak nyaut-nyaut?" tanya Jeky.

Arya menggeleng, "gue nggak lagi ngelamunin apa-apa, kok, btw lo kenapa manggil gue?"

"Lo mau ikut kita jajan, nggak? Haus nih, panas juga," jawab Geri sambil mengelap keringat nya yang menetes.

Arya mengangguk, "ayo, gue ikut," jawab Arya kemudian beranjak dari duduknya.

Jeky bersama Geri mengikuti apa yang Arya lakukan, beranjak dari duduknya. Mereka kemudian keluar dari area lapangan dan membeli es teh.

Setelah membeli es teh, dan melihat hari yang sepertinya akan ashar, mereka akhirnya memutuskan untuk langsung ke masjid saja.

Pasalnya nanggung kalo harus balik lagi ke lapangan. Sebentar lagi juga adzan ashar akan berkumandang.

"Gue curiga deh, ada yang Syarif sembunyiin dari kita," ucap Jeky tahu-tahu.

"Emang apa yang di sembunyiin Mas Syarif, Mas?" tanya Arya.

Jeky mengedikkan bahunya, "ya mana gue tau, tapi gue yakin kalo Syarif lagi merahasiakan sesuatu dari kita."

"Nah! Gue juga curiga masalah ini. Kalian sadar nggak, sih, Syarif suka ngeluh sakit perut?"

"Terus juga setiap nggak masuk sekolah alasan Syarif selalu sama, yaitu sakit perut, padahal setau gue Syarif ga ada penyakit maag," jawab Geri.

Arya terdiam. Ia juga memikirkan apa yang terjadi dengan Rafka. Rafka nggak pernah ngeluh sakit perut, tapi kata dokter Rafka sakit maag.

"Pasti ada yang nggak gue ketahui," batin Arya.

"Apa kita tanya langsung aja ke Syarif?" usul Geri.

"Pe'a! Lo kalo goblok tolong jangan di tonjolkan banget lah, Ger, kalo kita tanya langsung ke Syarif, yang ada Syarif nggak bakal jawab," jawab Jeky.

"Oiya, ya, kok gue nggak kepikiran sampai situ?" tanya Geri pada diri sendiri.

"Biasalah, kan otaknya segini," jawab Jeky sambil memperlihatkan jari jempol dan telunjuknya yang hampir menyatu 🤏🏻

Ngikut-ikut stiker yang ada di WhatsApp.

Mereka kemudian tertawa bersama melihat ekspresi Jeky saat mengucapkan kalimat itu.

Padahal ga lucu, tapi mereka tetap tertawa. Biasalah, humor rendahan.

🕊️

Alhamdulillah ✨

Terimakasih sudah membaca sampai akhir 🤗

Rafka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang