[30] Oh oh

119 19 3
                                    

"Wooooooy! Ini dia orangnya dah dateeeng!"

"Widiiiih! Pantesan yee hawa-hawanya beda!"

Di pagi hari yang kuharap akan mendapatkan ketenangan, justru sangat berbanding terbalik dengan keadaan kelas yang riuh saat baru saja satu langkah aku masuk ke dalam ruangan. Aku sendiri bingung, nggak tahu alasan mengapa sekarang aku malah kayak jadi topeng monyet begini saking atensi semua teman-teman kelas menatap ke arahku.

"Sa! Lo beneran jadian sama Dadar?!"

"Si anjing! Katanya nolak? Kok malah jadian?!"

"Oke! Waktunya klarifikasi, Sa!"

Oh my fucking what?! Dari mana mereka tahu tentang hubunganku dengan Darevan?!

Aku menelan ludah, berharap ini semua cuma mimpi. Nyatanya, kakiku malah mulai gemetaran. Dadaku sedikit ngilu sebab jantungku yang mulai berdetak keras. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk melanjutkan langkah menuju kursiku sembari menunduk, mengabaikan tuntutan pertanyaan yang bahkan enggan sekali kujawab.

Di sana sudah ada Gemini yang menatapku dengan sorot .... entahlah, aku juga nggak bisa mengartikannya.

"Sa! Saa! Ayo ngakuuu! Lo udah pacaran kan sama Dadar?!"

"PJ SAAA PJ!!!"

"Kok lo sok-sok-an nolak tapi pada akhirnya nerima juga?"

"Diem anjing!"

Aku terkesiap. Bukan, itu bukan suaraku. Aku sendiri bahkan tidak bisa memastikan kalau pita suaraku masih berfungsi atau tidak. Untuk melihat teman-teman sekelasku saja aku tidak berani. Bagaimana bisa aku berteriak kasar di saat aku mulai merasa ketakutan begini?

"Nggak usah banyak bacot! Lo pada ganggu tau, nggak! Nggak liat Himsa risi sama lo-lo pada? Hah??!!" Gemini berucap begitu lantang. "Udah sanaa! Minggir-minggir! Dikit lagi mau bel!"

"Yeee apaan sih lo kuyang! Himsa aja nggak ngomong apa-apa, kenapa elu yang ribet?"

Gemini berdesis kesal. "Dia mau beneran jadian atau enggak, kenapa juga lo perlu ribet buat tanya-tanya? Penting gitu buat hidup lo? Hah?"

Aku nggak tahu lagi seberuntung apa aku memiliki Gemini sebagai sahabat. Yah, memang sudah bukan hal aneh lagi mengenal Gemini dengan mulut cabenya itu. Tapi aku sangat bersyukur bila dia masih mau jadi temanku, di saat aku berusaha menutup-nutupi satu rahasia darinya.

"Makasih, Min ..." lirihku pelan setelah mereka yang berusaha mengerubungiku sudah bubar ke masing-masing kursinya--atau mereka malah membuat kubu lagi dan menjadikanku sebagai topik gosip?

Aku sendiri masih menatap kosong ke arah meja. Aku bahkan juga tidak berani untuk sekadar melirik ke arah gadis yang tadi membelaku, alias Gemini.

Aku mendengar perempuan itu mendengus, kayaknya dia merasa kesal. Tapi aku sendiri juga tidak berani melihat raut wajahnya sekarang. Antara malu, takut, dan apa ya? Kenapa sampai sekarang tanganku masih gemetaran?

"Jujur gue bingung, gue mesti kaget atau nggak. Tapi, itu beneran, Sa? Lo jadian ama Dadar? Udah lama?" Gemini bertanya pelan namun dengan vokal yang datar, sepertinya dia tidak mau orang lain mendengarnya. Tapi, dari nadanya itu, aku menyiratkan bahwa dia sedang merasa kesal, dan tentu saja aku tahu apa penyebabnya.

"Maaf ..."

Gemini berdecak. "Apaan sih kok malah minta maaf? Gue butuh jawaban, Nyet, malah minta maaf lagi lo. Lebaran masih lama!"

Aku bingung mau menjawab apa. Pasalnya, pertama; aku nggak tahu mereka mendapat sumber dari mana mengenai hubunganku dengan Darevan. Kedua; bangke banget, Darevan mulai hari ini tidak masuk sekolah karena harus fokus pertandingan. Jadi, aku harus bagaimana?

"Kemaren ada yang nge-gep lo sama Dadar di Senayan. Ada fotonya juga, dan mata gue belum katarak buat sampe nggak ngenalin postur badan lo berdua," jelas Gemini seakan baru saja menjawab pertanyaan yang memutar di otakku.

Mendengar penjelasan Gemini, aku teringat tentang hari di mana aku diperbolehkan oleh bunda untuk menemani Darevan latihan. Padahal aku sudah mewanti-wanti mungkin ada siswa sekolahku yang juga datang ke tempat latihan--walau aku tahu presentasenya sangatlah kecil. Tapi sayangnya, ternyata aku malah kecolongan begini.

"Maaf, gue nggak ada maksud buat ngerahasiain ini dari elo, Min ..."

"Terus?" Gemini terdengar menuntut.

"It's Darevan, Min ... lo ngerti lah maksud gue gimana. Apalagi, sekarang gue keliatan kayak ngejilat ludah sendiri," balasku.

Gemini kembali mendengus. Kali ini, aku memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya; yang tentu saja, dia memasang wajah bitchy-nya ke arahku, membuatku ciut di tempat.

"Berarti, sejak awal, kalian emang udah jadian? Waktu itu lo ngeboongin gue, bilang kalau lo nolak si Dadar?"

"Sebenernya gue juga dipaksa, Min .... tuh orang juga berani-beraninya dateng ke rumah, nemuin bonyok gue."

"Serius lo Nyet?!" Gemini melotot. Aku pun mengangguk sebagai balasan. "Dasar anak setan."

"Jangan marah dong, Min ..."

Gemini berdecak. "Gue nggak marah, Sa, cuma apa ya? Rasanya pengin ngegiling lo di adonan donat tau nggak? Kesel banget gue anjing," Gemini dan mulut ajaibnya itu--yang sejujurnya menurutku merupakan hal yang biasa. "Sekarang masih pacaran berarti?"

Aku kembali mengangguk.

"Si tai, beneran jilat ludah sendiri ternyata." Gemini melipat kedua tangannya di depan perut. "Ya udahlah, mau lo publikasi atau pacaran diem-diem juga sebenernya itu hak lo berdua. Gue tau, lo pasti punya alasan kenapa milih backstreet. Tapi, lo nggak papa?"

"Apanya?"

"Muka lo pucet anjing, apa gara-gara belum sarapan? Jangan bilang lo diet gara-gara pacaran sama Dadar? Dia nyuruh lo diet?"

"Enggak, Min," aku menggeleng, "ini cuma inisiatif gue, biar gue keliatan pantes di samping Dadar," cicitku pelan.

"Lo bilang apa barusan?"

Aku nggak tahu Gemini memang tidak mendengarku atau sengaja hanya mengetesku kembali. Namun, sebagai jawaban, aku hanya menggeleng saja.

"Sa, as long as Dadar nerima lo apa adanya, lo nggak perlu mikirin aoa yang ada di otak orang lain, Sa. Penyakit insyekur lo malah makin tinggi kalau lo ngedengerin pendapat orang lain terus."

Nah, kan. Kubilang juga apa, pasti dia tadi mendengarku mengucapkan hal tersebut.

"Lo mau mengubah diri ya nggak masalah, mau ngubah bentuk badan juga oke-oke aja, itu terserah elo, kan elo yang punya badan Tapi ubah juga alasan lo, Sa. Jangan karena apa yang lo bilang tadi. Itu sama aja lo ngerendahin diri lo yang sekarang, Sa."

Aku hanya terdiam. Mungkin dia nggak tahu bagaimana rasanya jadi aku yang selalu saja dilirik orang hanya karena badanku yang tinggi dan juga besar. Tapi, aku juga tidak bisa menampik ucapannya tersebut yang walau terdengar menyakitkan, tetapi terasa benar untuk dijalani.

Gemini menghela napas, lalu menepuk pundakku. "Gue seneng lo mau nerima Dadar. Kebanyakan cowok emang selalu ngeliat cewek dari fisiknya dulu. Tapi firasat gue, Dadar nggak ngeliat lo dari fisik lo kok, Sa. Kalian kan temenan udah lama banget, pasti dia udah nemuin sesuatu dari lo yang pada akhirnya ngebuat dia suka sama lo."

"...."

"Dah, nggak usah dipikirin. Gue yakin si Dadar malah kesenengan kalo hubungan lo berdua nyebar begini. Kalo lo ngerasa keganggu, ya nggak usah dijawab, lo nggak punya kewajiban buat ngejawab pertanyaan orang yang kepo doang. Kalau elo ngedown, repot Sa. Backingan lo hari ini cuma gue doang, Dadar mulai fokus latihan, kan?"

"Miiiiiin!!!"

"Najis! Nggak usah peluk-peluk! Babi masih haram!"

***

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang