[15] All of a Sudden

252 32 3
                                    



😥😥😥😥😥

Aku berdeham malas. Kedua kelopak mataku masih tertutup, namun runguku yang terpasang earphone terus saja aktif mendengarkan seseorang dibalik panggilan malam ini. Tadinya mau ku-loadspeaker, tapi mengingat kamar Naraya tepat di samping kamarku, aku langsung berantisipasi untuk mencegahnya melaporkan hal yang tidak-tidak pada bunda.

"Besok ekskul?"

"Hm."

"Yah, berarti nggak ketemu gue dong besok?"

Alisku menukik. "Emangnya lo ke mana?"

"Mulai besok latihan terus di Sentul. Dikit lagi kan mau Asian Games." Oh, ya. Aku lupa kalau Darevan masuk ke dalam jajaran Tim Nasional Voli Indonesia. Entah kenapa, ada sedikit rasa bangga dalam diriku ketika mengetahui bahwa pacarku adalah seorang atlit nasional.

Pacar? Cih! Baru diakui sekarang, Sa?

"Emangnya nggak dikarantina?" Sebenarnya aku nggak paham-paham banget mengenai masalah timnas-timnas itu, apalagi mengenai masalah Asian Games.

"Nggaklah. Mulai besok latihannya diperketat, setiap hari. Nanti kita bakalan jarang ngedate, Ndut. Sedih, deh," di seberang sana Darevan pura-pura tergugu. Aku berdecih.

"Jangan ketemu mulu, ntar bosen."

Bosan juga aku melihat dia mulu setiap hari, sekelas pula.

Dan... kenapa sekarang tuturku malah lebih lembut? Padahal tidak ada sejarahnya Himsa berkata santun dan lemah lembut dengan Dadar Gulung!

Sudah sekian lama aku tidak memanggilnya dengan sebutan itu, aku jadi ingat kalau besok aku dan Bhika akan memasak dadar gulung. Aku dan Bhika sepertinya akan membuat imovasi dadar gulung polkadot, atau berinovasi dengan dadar gulung warna-warni, misalnya ungu, oren, biru, dan lain sebagainya.

"Sama lu mah nggak bakalan bosen."

Oke, humairoh di pipiku sepertinya mulai bermunculan. Sialan sekali mulut Dadar Gulung ini.

"Besok masak apa?" Darevan kembali menimpali saat kedapatan aku yang tidak membalas ucapannya. "Yah, nggak bisa icip-icip, dong? Hmph!"

"Masak elo."

"Hah? Elo?"

"Dadar gulung."

Darevan terkekeh. "Seru kali ya kalau lo jadi istri gue. Bisa masak serba-serbi makanan, jadinya nggak perlu jajan lagi di luar."

"Emangnya gue mau jadi istri loooo?" Aku langsung menutup mulutku saat aku menyadari bahwa aku baru saja setengah berteriak padanya. Ingat. Tetanggaku Naraya. Rungunya itu sensitif tingkat dewa.

"Ya maulah. Kan gue ganteng, atlit voli lagi," aku memutar bola mata. "Ntar kalau kita nikah, keturunan kita cakep semua, Ndut, hehehe."

"Heh! Geliiiiiii!" Cringe to the bone! Cringe to the bone! Tapi aku juga ikut tertawa mendengar ucapannya yang sangat ngawur itu. Jujur saja, aku tidak bisa membayangkan jika aku beneran menikah dengannya. Zzzzz.

"Halah. Gela-geli ntar juga demen lo," timpal Darevan. "By the way, kamu nanti mau punya anak berapa, Ndut? Kok aku pengennya 8, ya?"

"Ndasmu!" misuhku. "Ini kenapa malah jadi bahas rumah tangga, sih?!"

"Ya nggak papa, dong," balas Darevan santai. "Kita harus menata masa depan mulai dari sekarang, Ndut. Biar rapi kayak giginya Willy Wonka."

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang