[23] For the First Time

199 24 8
                                    

"Ndut, lapeeeer..."

Kutolehkan wajah sejenak pada Darevan yang sedari menempel di sisiku. Tenang saja, kami berdua masih berada di ruang tamu, kok. Aku mana berani membawanya ke kamarku, apalagi aku lagi sendirian di rumah. Kalau ada orang lain pun aku juga nggak mau membawanya masuk ke kamarku.

"Belum makan sama sekali?"

Sejujurnya, sepulang sekolah tadi aku juga belum makan, sih. Di meja makan juga nggak ada makanan apapun, kecuali nasi di rice cooker, bunda nggak masak.

"Tadi pagi sih udah, tapi tau sendiri kan perut gue kayak apa hehehe. Masakin dooong!" Darevan meraih lenganku, lalu dipeluknya dengan manja sambil mengeluarkan raut wajah kucing garongnya itu, yang sangat ingin kucakar. "Ayo dooong, udah lama nih adek nggak makan makanan Chef Imca..."

Aku mendelik. "Dih? Geli ih! Apaan tuh panggilan adek? Hahaha!"

Darevan semakin memajukan bibirnya. "Ayoo dooong, adek laper nih..."

"Berani bayar berapa lo nyuruh-nyuruh gue masak?" Aku mendengus.

"Bayar pake..." Tiba-tiba Darevan melepaskan pelukannya, lalu membuat gerakan menggunakan kedua tangannya yang membuatku mengernyit heran. "Cintakuuuuu!"

"GELIIIII HOEEEEK!"

Aku pun beranjak dari sofa ruang tamu sambil terbahak-bahak. Sebenarnya aku sudah menduga dengan kelakuan kejunya tersebut. Tapi sialnya, hal terduga itu masih saja bisa membuatku tersipu.

Kusadari Darevan mengikutiku menuju dapur. Aku pun membuka pintu kulkas dan mencari bahan-bahan yang bisa dibuat menjadi makanan. Masalahnya, aku sama sekali nggak kepikiran ingin masak apa.

"Nggak mau pesen aja?" Aku mendongak karena masih terjongkok di depan kulkas. "Bingung nih mau masak apa."

"Apa aja deh, Yang, nanti gue makan. Kangen gue sama masakan lo."

"Gue masakin tai, lo mau makan?"

"Kalau lo makan, gue juga makan, hehehehe."

"Bangsat ya anda."

"Language, Baby."

Aku berdecak, lalu mengambil tomat serta telur, karena hanya dua bahan tersebut yang terpampang di pandanganku. Ya masa aku mau masakin oseng-oseng cabe? Kan nggak lucu kalau nanti tuh manusia tiang mencret di tengah-tengah latihan.

"Masak apa, Yang?"

"Buta lo mata lo?!"

"Astaga..." Darevan mengelus-elus dadanya. "Galak bener pacar gue."

"Ngapa? Nggak suka?"

"Nggak suka, tapi suka banget, hehehehehe."

Dih, ini orang kayaknya bucin bener sama diriku. Jadi, gini ya rasanya dibucinin? Hehehe. Padahal tadi aku cuma bercanda doang.

"Ewh."

Aku jadi penasaran. Apa dulu dia juga begitu ya ke mantan-mantannya yang katanya banyak itu? Cih. Jadi insecure lagi, kan. Apalagi, kayaknya memang mantan-mantannya itu pasti berbeda denganku, dalam bentuk proporsi tubuh maksudnya.

Tau ah! Insecure itu memang sulit dihilangkan. Wanita secantik Ayudia Bing Slamet saja bisa insecure, kok, gimana aku yang kayak buntelan idup begini?

"Ndut."

"Heh!"

Hampir saja aku melempar pisau yang sedang kupegang. Nyatanya, karena kepikiran akan insecure yang mungkin nggak akan menghilang di benakku, aku memang tak sadar bila tiba-tiba saja Darevan sudah berada di sisiku, menempel pula macam ulat keket.

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang