[20] The Trial

247 26 2
                                    

"Nah, lo ngapain di sini?"

Rexy, dengan gaya khasnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Harusnya dia tahu bahwa aku masih berada di kelas karena ingin menemani Gemini dengan segala permasalahannya terkait diriku.

"Lo juga ngapain?"

Nah, orang satu ini yang harus dipertanyakan keberadaannya. Darevan malah mengedikkan bahunya, merasa bahwa dia juga ikut terlibat dalam insiden adu bacot di kelas sebelumnya. Hm. Sepertinya aku dan dia memang harus terlibat, karena mau dilihat dari mana pun, akar permasalahannya berasal dari kami berdua.

Sedangkan kedua insan yang tengah duduk di depan Rexy itu saling duduk berjauhan. Yang satunya menatap jengah, dan satunya lagi terus saja memutar bola matanya. Aku yakin nanti pulang dari sini dia pasti mengalami gejala migrain.

"Jadi, kenapa kalian bisa berantem?"

Ya. Rexy nggak sepenuhnya berada di tempat kejadian perkara, dia baru datang ketika Gemini mengeluarkan bacotan terpanasnya pada Robi. Keberadaan aku serta Darevan pun kuyakin dapat membuat Rexy mengerti mengapa kedua temannya itu saling beradu mulut.

"Gue mau denger penjelasan dari elo dulu, Rob."

"Apanya yang mau dijelasin? Mininya aja yang lebay, Himsanya mah biasa-biasa aja tuh."

Ingin kulemparkan batu ke arah wajah songongnya itu, bahkan kulihat juga Darevan hampir ingin memajukan langkahnya.

"Elo ngomong apa tadi emangnya? Kok bisa si Gemini yang ngomel-ngomel?" Rexy kembali bertanya. Bahkan Gemini ingin menyemburkan kekesalannya kalau saja Rexy tak menyuruhnya untuk diam terlebih dahulu.

"Gue cuma bilang, 'abis ditolak Himsa, dateng cewek yang lain' gitu doang. Salah gue di mana?"

"Heh! Lobang got! Jelas-jelas tadi lo bilang 'sama Himsa gugur, tumbuh yang lebih cakep'! Udah gitu ngomongnya kayak pake toa masjid lagi!"

"Hah!" Robi berdecih. "Terus emangnya kenapa? Masalah buat lo?"

"Iiiiiiiih!"

Gemini sudah menaikkan bogem mentahnya ke udara. Untung saja aku berada di situ, sehingga aku bisa menahan tubuhnya untuk tidak bertindak lebih jauh.

"Min, tenang. Inget, lo perempuan, dan ini masih di sekolah. Dan elo juga, Rob, jangan memperkeruh suasana. Nggak malu sama burung lo?"

Hawa-hawa panas seperti ini malah ingin membuatku ngakak, berlaku juga pada Darevan yang menolehkan kepalanya ke arah lain. Aku tahu dia sedang ingin menahan tawanya.

"Oke. Sekarang, gue mau denger dari elo, Min. Kenapa tadi lo teriak-teriak kasar gitu ke Robi?"

Gemini mendengus sebal sambil melipat kedua tangannya, lalu dia menjelaskan perkara yang menyebabkan dirinya naik pitam seperti tadi. Lagi-lagi, aku terharu, ingin menangis karena mendapat pembelaan dari seorang Gemini. Sebegitu besarnya rasa persahabatan perempuan itu hanya untuk diriku, yang bahkan masih mencoba menyembunyikan statusku dengan Darevan.

"Gue nggak terima, Rex. Secara nggak langsung, ini orang ngatain Himsa. Nggak perlulah dia ngomong kenceng kayak gitu, apalagi pas ada Himsa." Kulihat, Gemini sejenak menoleh ke arah Darevan. "Gue tau cakep itu masalah perspektif. Sekarang gue tanya sama lo, Dar. Lebih cakepan Himsa apa cewek yang lo tolong tadi pagi?"

"Kok jadi gue?"

Yang ditanya siapa, yang malu siapa. Kurang ajar memang kadang-kadang si Gemini ini. Sudah aku bangga-banggakan sebegitu tingginya, sekarang malah ngomong makin ngawur.

"Ya jawab aja! Apa susahnya? Malu sama Himsa?"

Darevan melirik ke arahku sejenak yang sejak tadi sudah ketar-ketir sendiri.

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang