[31] Being Halu

92 16 1
                                    

"Yang mana sih?"

"Itu yang badannya gede, bego! Badan segede gitu mata lu katarak, hah?!"

"Serius lu njing?! Bukan yang badannya kecil itu?"

"Iye dia orangnya. Heran gue sama seleranya Darevan."

Aku memejamkan mata. Aku tidak tahu tujuan mereka berbicara keras seperti itu. Apa memang mereka tak tahu aku mendengarnya, atau mereka memang sengaja biar aku benar-benar mendengarnya. Aku sudah menahan tangan Gemini sebelum dia membuat keributan. Seharusnya, membungkam mulut Gemini merupakan satu-satunya jalan agar gadis itu tidak melabrak orang yang membicarakanku. Tapi, aku justru menarik tangannya dan pergi dari kantin. Alhasil, kami tidak jadi membeli apapun untuk mengganjal perut.

"Lo kenapa sih, Sa?" Gemini berseru kesal. Dia saja kesal, gimana aku yang juga sakit hati saat mendengarnya?

"Jangan diajak berantem, Min," balasku datar.

"Ya mulut mereka semena-mena anjir. Ngurusin banget hubungan orang, tai," sungut Gemini. "Kenal aja enggak."

Ya itulah kenapa aku tidak mau mengumbar hubunganku dengan Darevan. Aku bukan tipe orang yang bakalan bodo amat dengan ucapan orang lain. Walaupun kelihatannya aku diam saja, tapi aku gampang banget merasa sakit hati.

"Eh, Himsa!"

Belum kubalas ucapan Gemini, seseorang muncul tepat di hadapanku dengan raut penasarannya. Aku hanya menghela napas saja, seakan sudah tahu apa pertanyaan yang akan muncul di mulut gadis tersebut.

"Lo beneran jadian sama Darevan?"

Aku nggak mengerti seterkenal apa Darevan di sekolah. Maksudku, dulu, aku bodo amatan dengan popularitasnya yang ternyata memang dikenal oleh semua angkatan. Akan tetapi, memangnya hanya karena alasan itu hingga hubungan kami harus diketahui oleh banyak orang? Hingga membuat fotoku bersama Darevan yang kebetulan sedang merangkulku tersebar di grup chat angkatan? Apakah kami sepenting itu hingga harus menjadi bahan omongan orang lain?

Aku bahkan baru tahu foto tersebut setelah anak-anak kelas memborbardirku dengan pertanyaan, karena sampai saat ini aku selalu membuat fitur diam pada grup chat angkatan, karena menurutku isi chatnya tidak pernah penting.

"Ya nggak mungkin kakak-adek zone lah, ya," jawab Gemini skeptis.

"Gue nggak nanya lo," Ica berkata dengan ketus, membuatku menukikkan alis.

"Ya elonya aja yang bego nggak ketolongan sampe nggak paham sendiri," balas Gemini dengan nada yang lebih pedas. "Tanpa dijelasin pun harusnya lo ngerti setelah ngelihat fotonya Himsa sama Dadar, tolol."

Maaf, aku berdosa, karena entah kenapa aku malah merasa senang saat Gemini mengucap kata kasar seperti itu. Seharusnya, tadi aku membiarkannya saja melakukan keributan di kantin, ya?

Aku tahu Ica menggeram sebal, terlihat sekali dari tangannya yang mengepal. Tinggal ditunggu saja tangan itu menonjok ke arah wajahku.

"Kok bisa? Lo yakin Darevan nggak lagi main-main sama lo? Soalnya gue sama dia lagi pendekatan, makanya waktu itu gue nanya-nanya ke elo."

Hah ....?

Aku cuma bisa cengo dan entah kenapa kembali memikirkan kenapa Darevan bisa-bisanya menembakku di hadapan banyak orang kala itu.

"Halu banget anjiiiir! Hahahahaha!" Gemini malah terkekeh, sedangkan aku dan Ica hanya bisa diam; diam-diam saling melempar laseran sorot mata. "Gila, sakit lo bu? Mending periksa gih sana, sebelum lo bener-bener nggak bisa ngebedain mana halu sama mana dunia nyata."

"Min," kusenggol Gemini untuk menghentikan ucapannya. Sebenarnya dia sudah mulai rada kurang ajar, tapi entah kenapa aku sedikit menyetujuinya.

"Sa," sahut Gemini seakan tidak mau mengalah. "Ini namanya gue peduli sama mental health seseorang, Sa. Kasian dia, Sa, mental health itu nggak main-main, lho."

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang