[26] Never Ever

199 24 9
                                    

"Jangan macem-macem," ancamku yang bahkan tak bisa berkutik saat kedua tangannya berada di pinggangku.

"Macem-macem apa, sih? Orang cuma satu macem aja, kok, hehehehe."

Dalam diam, aku mengeringkan rambutnya menggunakan mesin pengering rambut. Sialnya, malah jadi banyak jangkrik begini; Si Dadar ikutan diam, pandangannya juga kosong begitu.

"Aw! Panas, ay!" Akhirnya dia mengaduh setelah sedari tadi aku sengaja mengarahkan ujung pengering rambut ke jidatnya.

"Kerasukan apa sih lo? Nggak cocok tau nggak jadi orang kalem," protesku sambil menarik-narik rambutnya, sengaja lebih keras, biar setan pendiam di tubuhnya ikut tertarik keluar.

Darevan berdecak. "Diem salah, berisik salah. Capek jadi cowok tau nggak."

"Gih mangkal sono di taman lawang," kekehku.

Dadar nggak terlalu menanggapi. Ini anak malah macam kerasukan lagi. Aku jadi semakin khawatir.

"Ada masalah, hm?"

Ya pastinya ada. Nggak mungkin dia nggak masuk sampai tiga hari, tanpa kabar pula, kalau nggak ada masalah. Aku nggak mau terlalu memikirkan apa yang menjadi penyebab dirinya seperti ini, walaupun sejak masuk ke rumahnya pun hanya itu saja yang menjadi beban pikiranku sampai saat ini.

Rambutnya pun telah kering. Cepat memang, karena rambutnya juga pendek. Dia pun mendongak ke arahku, menatap penuh sendu.

"Boleh, ya, minta peluk?" pintanya dengan nada pelan, aku jadi nggak tega buat menolaknya.

Pada akhirnya aku mengangguk. Darevan pun berdiri, lalu malah menarikku pelan menuju ranjangnya.

"Sambil tiduran, ya? Maunya peluk yang lama, kalo sambil berdiri capek nanti."

Duh. Anjir. Apaan nih? Masa mau mesum-mesuman di kamar? Di kasur pula? Mana mukanya rada melas gitu lagi.

"Serius nggak macem-macem, cuma pengen peluk doang, kangen..."

"G-guenya bau asem tapi..."

"Iya, udah kecium kok dari tadi."

"ISH!"

Dia malah tertawa pelan.

"Peluk, ya?"

Aku membuang muka, tapi menurut juga saat dirinya menarik tubuhku untuk mendekat. Pada akhirnya, kami saling bertukar rengkuhan, dengan wajah dirinya yang bertumpu dekat leherku, membuatku kegelian sendiri saat sedari tadi dirinya terus saja menghela napas begitu panjang.

Tanganku pun mulai bekerja untuk mengelus punggungnya, membuat Darevan semakin merapatkan tubuhnya padaku. Hm, ini sih dianya yang keenakan. Tapi, hah, mendebarkan juga posisi macam ini.

"Maaf, ya, nggak ngabarin tiga hari ini," katanya dengan begitu kalem. Aku hendak membalas, tapi dirinya kembali berbicara. "Hape gue rusak, total. Udah pecah. Harus beli lagi, tapi belum sempet."

Oke. Satu pertanyaan terjawab sudah kenapa dirinya tak bisa ditelpon atau bahkan di-chat.

"Capek, Sa."

"Hm?"

"Capek."

"Iya, kenapa capeknya?"

"Capek, Himsa..."

Aku semakin terdiam, sebab, sepertinya aku mulai memahami apa maksud dari ucapannya barusan saat merasakan gemuruh napasnya yang tampak begitu gelisah. Elusan tanganku pun berubah menjadi tepukan di punggungnya, mencoba menenangkan dirinya.

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang