[19] Rexy

230 24 10
                                    

Huhuhu maafkan sudah lama hiatus dari work ini. Doain aja alurnya mengalir teroos

Mengandung kata-kata kasar, jadi jangan laporin aku ke Kak Seto ya wkwk

🌍🌍🌍

Beginilah nasib jadi orang yang paling tinggi. Kalau berbaris, pasti disuruh berdiri paling belakang. Sejujurnya, aku sih senang-senang saja, karena berkat tinggiku, aku tak perlu benar-benar memerhatikan jalannya upacara yang selalu dilakukan setiap dua minggu sekali di hari Senin. Bahkan aku juga bisa sampai menggunakan earphone yang diselipkan dari bawah seragam. Habisnya, aku malas mendengarkan ceramahan Pak Kepala Sekolah yang isinya dari dulu nggak jelas, hehe.

Maafkan warga negaramu ini ya, Indonesia.

Kukibaskan telapak tangan ke arah wajah, lalu mengelap peluh menggunakan punggung tangan. Pagi ini memang terlalu terik. Tadinya aku bahkan ingin membawa kipas, tapi takut disita.

Earphone dan kipas berbeda ya, teman-teman. Kalau earphone kan masih bisa disembunyikan, tapi kalau kipas pasti langsung kelihatan, makanya aku nggak berani.

Selang tak berapa lama, bayangan menutupi celah matahari yang tadinya mengenai kulit wajah, refleks membuatku menoleh ke arah kanan ketika Darevan juga kedapatan menatap ke arahku.

"Masih panas?" Dia bertanya tanpa bersuara. Sedetik aku tak mengerti, dua detik berikutnya membuatku menggeleng kikuk. Oh, yah, dia melakukan hal yang harus dilakukan sebagai seorang pacar. Kupikir, ada untungnya juga memiliki pacar yang tingginya melebihi tinggiku.

Jangan salah, kami berdua berdiri di barisan yang sama karena barisan laki-laki dipisah dengan barisan perempuan. Namun juga karena proporsi keduanya sama, aku dan Darevan sering kedapatan berdiri satu baris, itu pun kalau jumlah siswa kami masuk semua.

Kulihat dasinya yang sepertinya dari dulu memang tidak pernah tampak rapi. Jadi pengin kurapihi, hew-hew.

"Adudududuh!"

Aku refleks menggeser tubuhku tatkala Darevan hampir terjengkang ke samping karena menopang seseorang yang terjatuh pingsan ke arahnya. Entah kenapa, sepertinya posisi Darevan sesaat tadi pas untuk menahan tubuh si peremp--bukankah itu Ica?

Aku agak sedikit shock melihat mereka, apalagi saat melihat Darevan yang memposisikan Ica ke dalam pelukannya. Tapi, kekhawatiranku sedikit tersingkirkan saat melihat raut pucat Ica-yang sepertinya perempuan itu memang beneran sakit.

"Eh! Anak PMR mana nih?!"

Entah kenapa, anak PMR yang memang biasanya berdiri berjajar di sudut lapangan menghilang entah ke mana. Pun guru yang biasanya berjaga di belakang juga tidak ada.

"Kalo lo nggak mau gendong, udah kasih ke gue aja sini," Robi mengajukan diri untuk menolong Ica.

"Yee si bangsat!" Rexy yang memang berdiri di belakang juga ikut menanggapi. "Lo mah yang ada nanti digrepe-grepe. Udah, Dar! Bawa aja ke UKS sana! Nanggung banget itu tinggal lo bopong ke UKS! Itu cewek badannya juga kecil, keangkat itu mah!"

Tanpa babibu lagi, Darevan berdiri, membenarkan posisi tangannya untuk membawa Ica menuju UKS. Dia, tanpa menoleh ke arahku barang sejenak, berlalu begitu saja. Mungkin karena dia lagi panik, jadi aku ikut terabaikan.

Pun pandanganku bertabrakan dengan si ketua kelas blangsak Rexy. Dia tampak kaget, diikuti dengan aku. Kemudian dia berbicara hanya dengan Gerakan mulutnya, tanpa mengeluarkan suara. "Cuma nganter doang, nggak usah cemburu."

Hah? Gimana? Gimana?

⛰⛰⛰

Istiharat hampir berlalu, dan anak-anak sudah masuk ke dalam kelas semua karena tidak mau kena omel oleh Pak Beni walau telat beberapa detik saja. Beliau itu kalau ngomel, pasti yang kena semuanya. Semenjak insiden si Robi tukang rusuh di kelas gara-gara telat masuk kelas hanya karena punya urusan panjang di kamar mandi, semuanya jadi ikutan kena karena dia paling nggak suka kalau jam pelajarannya dipotong.

"Woy, tiang! Dicariin noh ama cewek!" teriak Deny dari depan kelas, yang membuat semua anak termasuk aku menoleh ke arah pintu. Sedangkan yang dipanggil malah sibuk sama ponselnya, seakan nggak peduli dengan panggilan itu.

"Woy, Dadar! Eh buset! Ada cewek cakep malah dianggurin!"

"Apaan dah?"

"Et dah! Itu cewek lagi?" Kudengar Gemini berdesis, dan aku sedikit melebarkan kelopak mata saat melihat Ica justru dengan beraninya masuk ke dalam kelas dan menghampiri Darevan yang jelas-jelas sedang tidak menghiraukannya-atau dia memang tidak melihat keberadaan Ica dan sedang terlalu fokus bermain game di ponselnya tersebut.

"Ama Himsa gugur, malah numbuh yang lebih cakep! Ngiri banget dah gue ama Dadar."

"HEH! NGEMENG APA LO BARUSAN?!" Yang naik pitam malah Gemini, bahkan dia sudah beranjak dari kursinya, hendak menghampiri Robi yang tampak ketakutan dengan tampang galak Gemini. "MAKSUD LO HIMSA NGGAK CAKEP GITU?!"

"Min..."

Aku mencoba untuk menahan lengan Gemini karena sekarang fokus mata anak-anak di kelas adalah perempuan di sebelahku. Masalahnya, orang-orang juga mulai fokus denganku, fokus dengan kejadian yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Tahu sendiri kan kejadiannya yang mana?

"Galak banget sih emaknya Himsa," Robi masih nyinyir, walaupun sebenarnya aku juga rada sakit hati akibat ucapannya tadi yang entah disengaja atau tidak. "Lebih galakan dari Himsa lagi."

"Kalo ngomong dipikir-pikir dulu dong, Rob! Nggak pernah ngotak kalo lo ngomong!"

"Eh!" Waduh! Si Robi malah ikut-ikutan berdiri, menunjukkan raut ketidaksukaannya saat Gemini mengatainya tadi. "Sori-sori aja nih ya, lo siapa? Bahkan Himsa biasa-biasa aja, tuh, kenapa elo yang sewot?"

"Karena Himsa bukan orang yang tipe ngebacot kayak elo!"

"ANJ-"

"Rob-Rob!"

"Apa?! Anjing?! Babi?! Keluarin tuh semua hewan peliharaan lo! Gue juga punya anjing di rumah! Apa lo?!"

"Mini... udah, Min! Nggak usah diperpanjang kenapa?" Sejujurnya aku mau mengacungi jempol padanya, tetapi sekarang bukanlah waktu yang tepat, apalagi tensi di kelas sedang tinggi-tingginya. "Gue nggak merasa kesindir, kok. Udahan, ya?"

Mau nangis rasanya karena dibela sebegitu besarnya oleh Gemini.

Robi berkacak pinggang, lalu berdecih dengan mengangkat sudut bibirnya, seakan menganggap remeh Gemini. Aduh, nambah panjang masalah saja ini cowok. "Masih untung lu cewek, kalo nggak, udah abis lo di tangan gue."

"Alah, banci! Bilang aja lo takut! Cuih!"

"EH! ROB! ROB! TAHAN!"

Deny yang berada di dekat Robi langsung menahan tubuhnya, begitu pun aku yang mencoba kembali mendudukkan Gemini di tempatnya. Pun Darevan juga mulai mengalihkan atensinya pada keadaan rusuh ini. Bahkan aku meyakini bahwa dirinha baru sadar kalau ternyata Ica sedang menghampirinya.

"NGGAK USAH DITAHAN! SINI LO, ANJIIIIIIIING!"

Aku sempat melirik ke arah Ica yang terlihat shock dengan kejadian ini. Gimana dia nggak shock? Aku yang sejujurnya sudah biasa melihat amarah Gemini saja masih bisa kaget, apalagi kalau adu mulut dengan cowok macam ini.

"Stop atau lo berdua gue laporin ke BK?"

Suara lantang Rexy kembali mengheningkan suasana. Entah kenapa kali ini dia benar-benar tampak seperti ketua kelas.

"Lo," Rexy menoleh pada Ica, yang masih berdiri di tempat, tepatnya di dekat meja Darevan. "Mending sekarang lo keluar, karena sebentar lagi mau bel masuk. Kalo ada urusan sama anak kelas sini, mending nanti pas pulang sekolah."

Ica mengangguk kaku, lalu keluar dari kelas hampir dengan langkah berlari. Kadang Rexy memang terlihat galak kalau benar-benar lagi dalam keadaan tegasnya.

"Lo berdua; Robi dan Gemini. Jangan pulang sebelum bel sekolah, selesain masalah kalian berdua. Kalo sampe salah satu dari kalian pulang atau kabur duluan, lo berdua udah tau kan apa akibatnya?"

Hm... Rexy dan ancamannya memang nggak pernah main-main.

⛰⛰⛰

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang