[9] Am I (too) Cruel?

349 35 3
                                    

Aku menggigit jari, lupa bilang suatu hal pada Darevan. Sebelum masuk ke kelas, dengan cepat aku menelepon Darevan. Nggak butuh waktu lama, cowok tiang itu mengangkat telepon dariku.

"Dar, di mana?"

"Ada apa sayang?"

Sesuatu yang menggelenyar terjadi di dalam perutku. Bahkan aku lupa ingin mengatakan apa setelahnya.

"Halo? Ndut?"

"L-lo di mana? Kelas?" Aku mencoba mengumpulkan nyawaku yang entah sedang terbang ke mana.

"Kantin, sarapan. Why?"

"Sendiri?"

"Temenin dong makanya," balas Darevan. Aku memutar bola mata. Cih! Padahal bukan itu maksudku, aku kan hanya bertanya. Tapi hal tersebut menandakan bahwa dia memang sedang sendirian.

"Kita backstreet," kataku langsung pada intinya, tapi yang di seberang sana malah diam saja. "Anybody there? Lo denger gue nggak sih?"

"Kenapa lagi sih ini?" Terdengar nada marah ucapan Darevan yang membuatku sedikit menciut. "Susah banget mau pacaran doang."

"G-gue masih belum siap," jawabku tergugu. "Nanti ada w-waktunya sendiri buat temen-temen tau k-kalau kita pacaran..."

"Sampai kapan?" potong Darevan langsung.

Sampai kapan ya? Argh! Aku saja bahkan nggak berani untuk bilang ke teman-teman yang lain, nggak akan pernah! Jadi, nggak ada waktu 'sampai kapan' karena aku memang nggak mau mengungkapkan status ini.

"Sampai..."

"Terus kita kapan pacarannya?" Darevan kembali menyela.

"Ya... kan bisa abis pulang sekolah...?" Bahkan aku nggak yakin kalau aku mau diajak 'pacaran' setelah pulang sekolah.

"Bener ya, awas ingkar. Gue ungkep lo." Aku melotot mendengar ucapannya barusan. Dia pikir aku ini ayam kuning apa? "Babay, honey. Kiss bye dulu tapi."

Aku langsung menjauhkan ponsel dari telinga dan menyentuh bulatan merah. Hih! Menyebalkan dasar dadar gulung!

[***]

"Saaaaa..."

Darevan mengikuti perkataanku. Bahkan saat masuk kelas, dia menampakkan tampang tidak peduli ketika diserbu pertanyaan perihal kemarin. Dan kali ini, si kurcaci Gemini kembali duduk di sampingku. Tapi, enak saja. Dia kira aku ini nggak marah dengannya?

"Jangan diem gitu, dong, lo serem tau," cicitnya sambil memegang lenganku. Rasanya aku ingin mencekiknya sekarang, tapi enggan. Itu malah membuatnya senang karena pada akhirnya dia tahu bahwa sebenarnya aku nggak marah-marah banget dengannya. Makanya kali ini aku mau ambil aksi diam, biar dia tahu bagaimana rasanya tidak diacuhkan.

"Don't touch me," kata gue sambil menyingkirkan tangannya, yang membuat Gemini semakin menciut.

"Aaaaah, Saaaaa, jangan gitu, gue nangis nih!"

"Sono! Nggak peduli gue!"

"HIMSAAAAA! HWAAAAA!"

Aku yang marah, kenapa dia yang menjerit histeris gini, sih? Ini kelihatan banget seperti aku yang sedang menyiksanya.

"Bacot, ih. Kesel gue."

"Makanya, jangan marah dong."

"Ya siapa yang nggak marah, setan!"

"Iya, iya..." Suara Gemini mengecil. "Gue khilaf, kok, tawaran Dadar nggak jadi gue ambil. Serius! Coba tanya sama dia sendiri kalau nggak percaya!"

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang