[18] Cupid?

285 28 4
                                    

Seperti biasa--sebenarnya tidak juga sih semenjak aku backstreet dengan manusia tiang itu, aku tetap menjalani aktivitas sehari-hari sebagai siswa sekolah. Ya belajar, ya ekskul, ya ulangan, ya makan, begitu terus setiap hari. Kentut juga, jangan lupa.

Semenjak Darevan disibukkan dengan aktivitas volinya yang memang dilakukan setiap hari, membuat kami jarang bertemu di jam luar sekolah, yang katanya cukup menyiksa dirinya karena di sekolah pun dia nggak bisa berpacaran bebas. Cih. Masih untung bisa ketemuan.

Sampai saat ini, hubungan kami tidak pernah terendus, tidak ada berita simpang siur yang tersebar. Sepertinya si ketua bin gendeng Rexy benar-benar menepati janjinya untuk tetap bungkam, walau terkadang tiba-tiba dia suka menoleh ke arahku dan melemparkan tawa sinisnya. Sialan memang. Tapi aku benar-benar tidak ingin mengumbar hubungan ini.

Yah, aku mengakui, aku terkena sindrom ketidakpercayaan diri akibat bentuk tubuhku sendiri. Maksudku, aku tidak percaya diri untuk sampai bisa menjadi seorang kekasih yang sangat didambakan di sekolah ini. Mungkin bukan hanya sekolah ini saja, di luar sana? Dia kan seorang atlit.

"Gue duduk di sini, ya?"

Aku dan Gemini menoleh berbarengan, mendapati seorang cewek yang tentu saja berseragam sama dengan kami namun kulihat potongannya terlalu ketat untuk tubuhnya, bahkan aku yakin roknya itu berukuran S yang diperkecil saking rampingnya. Apalah aku yang menggunakan XL menuju double XL ini. Hanya hampir, nggak tahu kalau bulan depan bakalan masih muat atau enggak.

Aish. Kepercayaan diriku terkucilkan lagi.

"O-oh, iya, silakan."

Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Gemini sebenarnya, menutupi pandanganku yang mengarah pada Darevan yang duduk sekitar empat meja dari tempatku berada. Bahkan aku sempat melihat bibirnya itu mencibir tatkala perempuan di depanku mengempaskan pantatnya.

"Eh, elo Himsa kan, ya?"

Sebagai balasannya, aku menukikkan alis, setengah bingung bercampur penasaran mengingat aku tidak mengenalnya, atau kami pernah bertemu tetapi aku tidak mengingatnya?

"Ya?"

"Gue Misandri, panggil aja Ica."

Ah, ya... terus?

"Oke...?"

Dahiku semakin mengerut tatkala si Ica-Ica ini terkekeh. Mungkin jika aku pria, aku bakalan klepek-klepek di hadapannya. Sayangnya aku masih normal.

"Berita elo sama Darevan nyebar di mana-mana, makanya gue tahu elo," satu pertanyaanku terjawab sudah, namun kembali memunculkan pertanyaan yang lain. Apa maksud dirinya memperkebalkan diri padaku? "Lo jadian nggak sih sama Darevan? Pacaran?"

Jadi, dia ini mau cari bahan gosip atau gimana?

"Tenang, tenang. Ini bukan buat bahan gosip, kok, tapi untuk pribadi aja," lanjutnya lagi sembari terkekeh. Mungkin dia keturunan cenayang sebab bisa menjawab pertanyaan yang terlintas di pikiranku, atau dia memang bisa membaca gerak-gerikku?

"Kenapa lo nggak tanya langsung aja sama di Dadarnya?" sahut Gemini ketus, kulihat dia sempat melirik Ica lewat sudut matanya, tampak tidak suka dengan keberadaan cewek itu. Padahal yang diinterogasi itu aku.

"Dadar?"

Cewek miniku merotasikan bola matanya, seakan jengah dengan pertanyaan yang tidak berbobot itu. "Darevan maksud gue."

Ica ber-oh ria, menarik kedua sudut bibirnya membentuk patri lengkung senyum yang dapat memikat lelaki di sekelilingnya. "Malu atuh..."

Sudut mataku berkedut, menyambungkan segala sesuatu mulai dari dirinya yang meminta izin untuk duduk di dekat kami, hingga penuturunnya yang terakhir. "Lo suka sama dia?"

Lagi dan lagi, Gemini menyuarakan pikiranku. Sejujurnya, aku masih merasa bersalah karena tidak memberitahukan apapun pada Gemini, apalagi saat melihatnya seperti ini. Dia seakan mengeluarkan raut tidak suka, walaupun subjek yang dimaksud dalam percakapan ini bukan dalam konteks dirinya yang menyukai Darevan. Perlindungan untuk diriku, mungkin?

Si perempuan berpatri senyum manis itu mengangguk pelan, menyembunyikan semburat merah yang muncul di kedua pipinya. Tapi, tidak berselang lama, dia menatapku, seakan kaget akan sesuatu yang belun kuketahui. "Eh? Astaga! Maaf, Himsa... Gue nggak tahu lo udah pacaran sama Darevan apa belum, tapi gue malah kayak gini..."

Aku mengangkat sudut bibir, berusaha bersikap biasa saja. "Nggaklah, ngapain minta maaf. Lagian, gue nggak pacaran sama Dadar. Tanya aja Gemini, atau temen sekelas gue yang lain."

"Serius?" Wajah semringahnya semakin cerah tatkala kubalas dengan satu anggukan, semakin meyakinkanku bahwa cewek ini memang benar-benar suka dengan Darevan. "Berarti gue boleh tanya-tanya dong ya tentang Darevan ke elo? Gue denger-denger lo temenan sama Darevan dari SD?"

"Ah... iya, tapi nggak terlalu tahu banyak sih, nggak deket-deket banget soalnya."

Obrolan terus saja berjalan yang hanya bisa kujawab seadanya saja. Toh, sejujurnya aku memang nggak terlalu tahu bagaimana seluk-beluk pribadi Darevan, hanya karena aku pernah satu sekolah dasar dengannya, bukan berarti aku juga tahu tentang kehidupannya.

Berbeda dengan raut kesal yang terus saja dilemparkan oleh Gemini, menurutku Ica lebih ke arah polos yang menggemaskan. Sumpah. Aku masih normal, buktinya sekarang aku berpacaran dengan Darevan, walaupun backstreet. Maksudku, kenaturalannya dalam bersikap seperti menjadi daya tariknya untuk laki-laki, dan kayaknya sulit untuk menolak pesona tersebut pada dirinya.

"Himsa, boleh minta idLine nggak? Eh, elo juga deh, eh tapi nama lo siapa ya? Hehehe, maaf lupa nanya."

Hello.... Dia sudah ngalor ngidul mengobrol denganku dan bahkan sedari tadi Gemini juga ikut menyahut tapi dia tidak tahu siapa nama cewek di sampingnya?

"Nggak punya Line. Nggak level."

Untuk menghindari kesalahpahaman, aku mengetikkan idLineku di ponselnya. Sebenarnya, aku hendak menolak, sih. Cuma, aku bisa apa? Apalagi di sini ada Gemini. Kalau aku menolak, dia bisa curiga dengan hubunganku dan Darevan.

"Hm... ya udah, gue balik, ya? Udah gue add nih, nanti add back oke?"

"Iya."

"Okeee. Bye Himsa and friend."

"Friend ndasmu!" sahut Gemini tatkala cewek itu sudah menghilangkan diri dari kantin. "Lo tuh kenapa sih, Sa?"

Alisku sukses menaik, membahasakan raut keheranan yang kulemparkan padanya. "Gue kenapa?"

Gemini berdecak, membuatku semakin bingung. "Lo tuh ya. Jangan bilang, lo mau jadi cupid mereka?"

"Apaan dah? Kan dia nanya, Min, ya gue jawab dong? Masa gue diem aja? Lagian, dia juga cakep, kalau sama Dadar bakalan cocok kayaknya, malah lebih bagus kan soalnya itu cewek kayaknya demen banget sama Dadar?"

Rasanya, aku kepengin memotong lidahku sendiri. Bahkan, sejujurnya aku memang nggak rela saat ditanya ini-itu mengenai Darevan. Hhhhhh! Memberikan informasi saja aku nggak rela, apalagi harus menjadi cupid mereka?

Hah? Apaan nih? Aku nggak rela? Berarti... apa sekarang aku mulai sayang dengannya?

Aish! Himsa!

"At least, lo harus menghargai perasaannya Dadar. Sekarang gue emang nggak tau itu anak gimana sama lo, masih suka atau enggak. Walaupun dia bertepuk sebelah tangan, nggak gampanglah buat pindah hati secepat itu, apalagi gue sering liat dia merhatiin lo, dan gue yakin sekarang itu tiang listrik lagi ngeliatin lo, kan?"

Mati gue, mati... Darimana Gemini tahu? Padahal jelas-jelas dia membelakangi Darevan. Aish! Cowok itu! Ingin kucolok matanya nanti.

"M-masa?"

Lagi-lagi Gemini berdecak, lalu bersedekap. "Gue pikir sebenernya nggak ada salahnya buat nerima Dadar, kalau nggak cocok ya tinggal putus, yang penting dicoba. Tapi kalau keputusan lo sampai saat ini masih sama, ya udah, terserah elo. Tapi, lagi," Gemini menekankan tiap ucapannya, "jangan sampai lo bantu-bantu itu anak buat ngedeketin Dadar, biar dia usaha sendiri. Gue yakin Dadar bakalan sakit hati kalau misalkan dia tahu lo malah ngebantu itu cewek buat deket sama dia. Pikirin perasaan itu cowok, setidaknya sekali."

🍩🍩🍩🍩

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang