[7] What the f(x)

399 43 7
                                    

"Udahlah," ucapku sembari beranjak dari kursi. "Ngomong sama lo kayak ngomong sama tembok, mantul sana-sini. Walaupun gue..." aku menghentikan ucapanku sejenak, mencari kata-kata yang pas untuk selanjutnya kuucapkan, "...bukan cewek bodygoals... Bukan berarti gue bakal nerima lo."

Aku melihat Darevan berdecak sinis. "Mindset lo, Ndut, ck. Lo pikir gue kayak gitu?"

Kini aku yang mengangkat alis, antara marah dan bingung dengan apa yang dimaksud olehnya.

"Mindset lo terlalu rendah. Lo terlalu takut, ya kan?"

"Maksud lo?"

"Sini."

Tiba-tiba Darevan berdiri, menarik tanganku dan membawaku ke dalam restoran. Entah apa yang ingin dilakukannya. Aku bahkan berusaha untuk melepaskan tangannya, tapi tentu saja, dia sepuluh kali lebih kuat dibandingkan denganku.

Aku menutupi wajah saat beberapa orang 'menontoni' kami berdua. Tuh, kan! Kubilang juga apa! Aku nggak suka menjadi banyak perhatian orang seperti ini!

Yang nggak aku bayangkan, Darevan malah membawaku menuju wastafel restoran... Gila ini orang. Maunya apa coba?

"Lo lihat diri lo sendiri," ucapnya setelah kami berdua sampai di ruang wastafel dengan cermin besar di depannya. "Lihat, Ndut."

"Apa?!"

"Lo nggak percaya diri, ya kan?" Aku menatap diriku sendiri lewat cermin. "Lo nggak perlu harus jadi cewek bodygoals buat naikin rasa percaya diri lo. Cukup jadi diri lo sendiri aja. Lo nggak perlu malu atas apa yang lo punya. Masih ingat tentang rasa bersyukur, kan?"

Aku langsung menatap sengit ke arahnya. "Lo mau coba kultumin gue?!"

Darevan malah menarik hidungku. "Gue nggak pernah melihat lo dari penampilan, gue nggak peduli. Kalau gue suka sama lo, ya karena gue suka."

"Nggak pernah?" Aku memicingkan mata. "Terus 'ndut-ndut-ndut' yang selama ini lo panggil tuh maksudnya apa kalau bukan melihat gue dari penampilan gue?!"

"Emangnya nggak boleh manggil dengan panggilan sayang?"

"..."

"Itu panggilan khusus gue buat orang yang gue suka lho. Nggak boleh?"

"..."

"Hmm... Misi Mas, Mbak? Cuci tangannya udah selesai?"

Aku dan Darevan pun langsung menoleh ke sumber suara. Tanpa perlu menunggu Darevan, aku langsung keluar dari ruang wastafel sambil menutupi wajah. Sialan! Bikin malu sepuluh turunan!

[***]

Aku berlari menuju tempat parkiran. Aku mendengar langkah kaki di belakangku, menandakan Darevan mengikutiku dari arah belakang. Saat aku ingin mengambil kunci motor dari dalam tas, Darevan menarik tanganku dan membuatku menghadap ke arahnya.

"Gimana? Malah main kabur aja."

"Apanya?" Sebenarnya aku tahu apa maksudnya, tapi aku nggak tahu harus berbuat apa selain menyelamatkan diri sendiri dari rasa malu yang mungkin akan terus bertambah.

Darevan memutar bola matanya. "Ayolah. Anak SD juga paham masalah ginian. Lo terima gue, kan?"

Idiiiiiiih. Pedenya itu lho yang sampai melebihi batas atmosfer. Aku sampai bingung darimana dia mendapatkan sifat tak tahu malunya itu.

Tapi... sumpah. Di antara kalian pasti pernah mengalami hal yang sama seperti aku, kan? Di antara percaya dan bullshit. Kalian bakal pilih yang mana?

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang