[14] Still Doubting

287 41 10
                                    



🌚🌚🌚🌚🌚

Aku bahkan nggak bisa menunduk, pandanganku pasti ke arah lain. Mana paha sudah mulai kemeng lagi. Tahu kemeng, nggak? Kayak kesemutan tapi belum kesemutan. Berasa sudah nggak ada aliran darah ke paha.

"Ih, double chin-nya kelihatan dari sini," Darevan menunjuk ke arah daguku, hampir menyentuhnya.

Aku pun refleks langsung memukul jidatnya. Kurangajar ya anak satu ini.

"Aduh!"

"Minggir." Aku menggerakkan pahaku agar kepalanya mau menyingkir, tetapi dia masih bertahan saja di situ.

"Jangan ngambek, ih. Bercanda, tau," kekehnya. "Cantik, kok. Tetep cantik."

"Bullshit," aku berkata lirih sambil memutar bola mata.

"Cantikan Taylor Swift sih tapi, hehe."

"Awas!"

Gedebug!

Aku mendorong kepala Darevan dan langsung berdiri. Kepala anak itu langsung mencium lantai, kemudian dia mengaduh. Pengin ketawa aku rasanya.

"Sayang, jahat banget, sih," Darevan terduduk sambil mengelus belakang kepalanya. Kemudian dia langsung menarik tanganku saat dia sadar bahwa aku ingin berjalan meninggalkannya. "Mau ke mana? Baru sebentar di sini, belum bel masuk juga."

"Kesel gue sama lo," desisku.

Darevan menarik kembali tanganku, namun lebih pelan. Dan anehnya tubuhku malah merespon untuk luluh dengannya. Pada akhirnya, aku kembali duduk di sampingnya. Dasar tubuh pengkhianat!

Darevan mencubit pipiku, kemudian tanpa seizinku dia menelusupkan tangannya pada jemariku, namun aku tidak membalasnya. Hanya Darevan yang mengeratkan genggamannya. Jahat? Bodo amat.

"Jangan marah, dong. Nggak lihat tuh tanduknya udah pada keluar?" Aku meliriknya dengan malas, lalu menoleh ke arah lain. "Ya Allah, dicuekin mulu gue."

"Makanya, jangan macem-macem." Pada akhirnya aku menatap balik ke arahnya.

"Macem-macem apaan? Kan gue nggak ngapa-ngapain lo," balas Darevan membela diri.

Aku sendiri nggak tahu kenapa berbicara seperti itu, makanya sekarang aku nggak bisa membalas ucapannya. Aku berdecih saja, lalu menoleh ke arah lain, lagi.

"Lo sayang sama gue?"

Oke, mulutku mulai melantur.

"Kok pakai ditanya?"

"Jawab dulu."

Darevan malah terdiam, membuatku menoleh ke arahnya yang ternyata dia juga sedang menatapku. "Lo butuh bukti, bukan jawaban gue. Iya, kan? Lo masih ragu sama gue?"

".........."

Darevan tertawa sarkas, lalu melepas tangannya dari jemariku. Tiba-tiba saja dia berdiri, membuatku mendongak ke arahnya. "Ayo keluar, dikit lagi mau bel masuk."

Tubuhku refleks berdiri, kemudian aku membersihkan rok bagian belakangku dari debu. Tanpa aba-aba, aku merasakan sesuatu yang hangat memeluk tubuhku, dan... aku merasakan suatu emosi yang dihantarkan dari pelukan tersebut.

"Asal lo tau aja, gue marah." Degup jantung... tolonglah bersikap normal untuk saat ini. Jangan hiperaktif dulu. "Tapi gue nggak mau kasar, karena lo pasti makin ngejauhin gue. Gue nggak tau apa yang ngebuat lo masih ragu sama gue kalau lo nggak bilang ke gue sendiri apa penyebabnya. Apa karena ini terkesan terburu-buru?" Darevan terkekeh pelan, tapi menurutku itu terdengar sarkastik. "Buat suka sama lo itu... butuh waktu yang lama, Himsa."

Tubuhku langsung merinding saat Darevan kembali menyebutkan namaku, karena sepertinya memang sudah lama dia tidak memanggil nama asliku.

"Gue nggak mungkin dateng ke rumah lo, ketemu sama orangtua lo kalau gue nggak serius, Himsa. Buat apa?"

Kalimat itu benar-benar menohok hatiku. Rasa bersalahku langsung memuncak, membuatku menunduk menahan malu.

"M-maaf..."

Darevan menarik kepalaku, menyuruhku untuk bersandar di dada bidangnya. Oh shit... aku tidak bisa menolak. Suhu tubuhku semakin memanas saat Darevan mengelus suraiku. Sialan. Kenapa tubuhku berkhianat seperti ini?

"Kalau lo masih ragu sama gue, nggak papa. Seiring berjalannya waktu, gue yang bakalan ngebuat lo jatuh cinta sama gue."

Ya Tuhan... kenapa kali ini hatiku yang berkhianat? Kenapa hatiku berdesir saat mendengar kalimatnya tersebut?

"Lo... mau nunggu gue?"

Eh! Ini mulut! Kenapa ikut-ikutan juga, sih?!

Kepalaku mendongak, menunggu jawabannya. Dia malah tersenyum, membuat pembuluh darah dekat jantungku meledak begitu saja.

"Kalau kata Tulus mah, 1000 tahun lamanya juga bakal gue jabanin. Hehehe."

🙈🙈🙈🙈🙈

Aku keluar terlebih dahulu, karena jelas saja aku nggak mau terlihat sedang jalan berduaan dengan Darevan. Pipiku panas, pemirsa. Aku bahkan sengaja menggerai rambutku agar dapat menutupi sebagian wajahku. Sialaaaan! Kenapa dengan hanya pelukan saja aku bersikap autis seperti ini?

Tunggu... tunggu dulu. Itu berarti, aku sudah mulai membuka hatiku padanya? Dengan menanyakan apakah dia mau menungguku? Aish! Mulut terkutuk ini maunya apa, sih?!

"Eh, anoa. Woooy!" Aku terkaget saat seseorang menahan lenganku. Aku menoleh si pemilik tangan yang dengan kurangajarnya menyentuh talas bogor versi tanganku. "Ngapa lo? Kusut bener. Abis ditagih utang sama ibu kantin?"

"Bacot!" Bhika terkekeh. Masih ingat dia nggak? Kalau nggak ingat, coba buka bab dua. Tapi nggak usah diingat-ingat, deh! Nanti dia kegeeran. "Apaan?!"

"Buset. Galak bener. Lagi bulanan sia?"

Aku berdesis. "Nggak penting, lau!"

Bhika malah mendelik. "Et, tahi lalet Firaun. Besok kita sekelompok. Belum beli bahan buat masak besok. Mau dibeli kapan kanjeng nyai ratu Nyi Roro Kidul?"

Aku menepuk jidat, lupa kalau besok Sabtu, sekelompok sama Bhikambon pula. Aku pun berkacak pinggang.

"Sok sibuk lo! Kayak presiden aja," sahut Bhika ketika aku bahkan belum berucap sama sekali.

"Temanya apaan, sih? Lupa gue."

Gara-gara kejadian antara aku dan Darevan, membuatku melupakan kegiatan yang bahkan menjadi hobi sampinganku. Tidak pernah aku selupa ini mengenai suatu hal yang kusukai.

"Pantesan muka tambah tua, otak lo juga makin tua kayaknya," kekeh Bhika. Aku pun tak segan untuk mendorong kepalanya menggunakan ujung telunjukku. "Kue demek. Bikin kue demek kita besok."

"Hah? Demek? Apaan, tuh? Baru denger gue?"

"Kue basah maksud gue, hehe."

"Het! Upil tuyul! Pengin gue cukur alis lo tau nggak!" Nyebelin banget memang mengobrol dengan Bhika. Selalu saja bikin naik pitam karena kejayusannya tersebut.

"Nggak bisa tumbuhlah bangsat kalo dicukur," Bhika menutup kedua alisnya seakan aku bakalan benar-benar menyukur alisnya saat ini juga. "Ya udah. Elo yang ke kelas gue apa elo yang nyamperin gue?"

Aku menukikkan alis, mencoba mencerna kalimatnya. "Hah?"

"Tulul kali kau lah," Bhika menoyor jidatku, kemudian langsung kabur dan berteriak. "Bawa motornya satu aja yaaa! Gue males bawa motor sendiri!"

Lah si setan! Dia punya motor saja enggak! Hih! Belegeug sia!

🌚🌚🌚🌚🌚

Eh, aku beneran lho. Kalo vote di cerita ini gak sampe 15, aku beneran gak update lagi karena aku nganggep kayaknya cerita ini sudah tidak layak dibaca lagi, karena dari kalian kenapa tidak ada yang komeeeeeeen

Kutunggu dare ku yak
😗

Or, should I say goodbye to u all?

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang