[1] Dadar Gulung

1.4K 67 1
                                    


Pernapasanku tercekat, peluh keringat membasahi anak rambut, berjatuhan di panasnya aspal. Kedua lututku sudah bergetaran yang berirama, asam lambung mulai naik-turun di kerongkongan. Hanya aku! Tinggal aku yang berada di barisan terbelakang! Aku benci ini. Aku ingin menyerah, kalau perlu mati saja sekalian! Aku sudah nggak kuat!

"HIMSAAAA! AYOOO SEDIKIT LAGIII!" teriak teman-temanku menyemangati. Sedikit lagi gundulmu! Aku merasa ini masih seabad lagi.

Kaki terus kulajukan, lebih lambat dibandingkan pada start yang mungkin dimulai setengah jam yang lalu. Aku benci berlari, terlebih lagi berlari dari kenyataan. Hah. Bukan, bukan. Aku benar-benar benci berlari. Garis besarnya adalah, aku sangat benci berolahraga.

Walaupun tinggiku melebihi dari rata-rata tinggi cewek di kelasku-for your information, tinggiku 17x cm, dan aku tidak ingin menyebutkan berapa angka akhir dari tinggiku-, tubuhku sangat tidak cocok untuk berolahraga. Maka dari itulah, tubuhku berbentuk buah pir, alias ekstremitas bawahku terlihat lebih besar dibandingkan dengan bagian tubuhku yang atas.

"GO HIMSA! GO HIMSA! GO!" Dan anak-anak cowok pun mulai ikut-ikutan bersorak. Sialan. Mereka itu serigala berbulu ayam, sok innocent dengan menyorakiku, padahal yang mereka lakukan itu adalah mengataiku dengan cara halus. Untung saja hatiku sudah bebal merasakannya.

"Siapin air galon, woy! Buruan! Galon!"

Tanpa melewati stimulus otak, aku sangat mengenali suara itu secara lahir dan batin. Si Dadar alias Darevan. Dibandingkan dengan cowok-cowok lain di kelasku, Darevan merupakan cowok yang terlalu rajin untuk selalu mengusikku, mengataiku, dan hal-hal dosa lainnya yang membuat pahalaku meningkat drastis.

Langkahku mulai melemah ketika mendekati garis finish. Bahkan sepertinya aku bakal kalah melawan nenek-nenek yang suka menyebrang di jalan.

"MINGGIIIIIR!

"YAK!"

Pak Umar menekan tombol stop timer ketika langkahku sudah mencapai garis finish. Akhirnya, penyiksaan pun berakhir. Aku langsung merebahkan tubuh di lapangan yang diteduhi rimbunan daun beringin, menaik-turunkan dada yang selalu kusiksa ditiap langkah kakiku.

"Minum dulu, Sa!" Gemini, teman sebangku dan sejagat rayaku menghampiri, menyodorkan botol air minum 600 ml yang tersisa tinggal setengahnya itu.

"Ngasihnya niat nggak sih, lu!" Aku dibantu terduduk oleh Gemini, walaupun pada akhirnya aku menandaskan air minumnya juga. "Kasih es teh gitu, kek!"

Toyoran kepala langsung kudapati dari tangan Gemini. "Nggak bersyukur, dasar!"

Aku terkekeh dan mencoba menuangkan botol air minum tersebut yang sebenarnya sudah tidak ada airnya. Kalau kata iklan, tinggal tetes terakhir. Karena kerongkonganku masih terasa seperti padang pasir. Kering!

Padang pasir yang menyekat di kerongkonganku pun berubah menjadi hutan rimbun ketika melihat botol air minum 1.5 lt disodorkan padaku. Aku langsung melihat pemilik tangan malaikat yang memberikanku botol minum tersebut, yang ternyata adalah malaikat mautku.

"Minum dulu, Ndut. Haus, kan?" Si Dadar berjongkok di sampingku.

Aku memberikannya senyum terlebar yang kupunya dengan rasa terpaksa mengambil botol air minum besar tersebut. "Baiknya dirimu, Dar," ucapku sambil membuka tutup air minum itu, kemudian mengernyit melihat ke dalamnya. "Kok ada sesuatunya sih, Dar? Lo masukin obat cacing, ya?" tuduhku.

"Itu baru gue beli, Ndut. Tadi lo juga buka tutupnya masih tersegel, kan?"

"Coba aja lo lihat sendiri!"

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang