[6] Stone-head

462 44 4
                                    

Pada akhirnya, entah kenapa, aku dan Darevan malah melipir di restoran cepat saji yang terkenal dengan ayam krispinya itu. Sejujurnya aku nggak mau berbasa-basi, tapi karena perut nggak bisa membohongi, ya sudah, sekalian saja. Rada ngidam kulit ayamnya, sih.

"Lo duduk, gue yang mesenin. Lo mau pesen apa?"

Aku mengernyit. "Apaan sih? Gue mau pesen sendiri," kataku sambil menatap menu yang terpampang di atas.

"Nanti keabisan tempat duduk. Udah sana, biar gue yang pesen."

Aku berdecak. Pada akhirnya, aku hanya menitipkan pesananku, lalu mencari tempat duduk. Yang jelas tempat duduk yang kucari adalah tempat yang jauh dari keramaian, setidaknya nggak ada anak yang se-SMA denganku deh. Amit-amit kalau sampai dijadikan tontonan lagi.

Kira-kira 10 menit kemudian, manusia yang menjadi perhatian banyak orang itu datang dengan membawa nampan, berjalan sambil tersenyum ke arahku. Jelaslah dia menjadi tatapan memuja orang lain, terutama kaum perempuan. Dia itu selain tinggi, sebenarnya ganteng. Tapi, menurutku enggak, untuk sekarang. Sikapnya yang jelek itu terlalu dominan, sehingga paras tampannya langsung tertutupi.

Aku mengernyit begitu melihat makanan yang tersaji di depanku. "Lho? Kok makanannya ini? Makanan yang gue pesen mana?"

"Nggak usah sok-sok-an diet lo," katanya sambil mengempaskan pantat di bangku. "Makan yang itu aja, biar makin sehat."

Helloooooo! Sudah tahu sekarang lagi di restoran fastfood. Apa sehatnya coba? Sebenarnya aku memang memesan makanan yang tidak berporsi besar dan setidaknya kukira-kira tidak memiliki kalori yang terlalu tinggi. Tapi, apa ini? Dua pieces ayam besar, satu nasi, dan satu porsi kentang? Benar-benar mengacaukan dietku!

Aku benar-benar nggak bisa berucap lagi. Tapi selain lapar, tentunya aku nggak bisa menolak makanan yang menggiurkan ini, kan? Memangnya siapa yang bisa menolak krispinya kulit ayam ini? Ya Tuhan! Aku ngiler!

Hah! Habis ini harus zumba 2 jam, nih!

"Malah bengong, dimakan!"

Ya gimana nggak bengong lihat makanan segini banyak?

"Lo tuh ya..." ucapku penuh penekanan.

"Perhatian? Tentulah."

Boleh nggak aku meludah di hadapannya sekarang? Kalau perlu, meludah ke mukanya tersebut.

Sebenarnya aku kepengin ngomong sambil makan. Tapi kalau tiba-tiba aku badmood di tengah jam makan, nanti makanan ini bakal mubazir, dong?

Tiba-tiba saja ada tangan yang mengambil kulit krispi yang sengaja kupisah terlebih dahulu untuk kumakan terakhir. Aku langsung memukul tangannya dengan menggunakan tenaga amarahku, walaupun aku tahu pukulanku barusan nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan smashnya.

"Eh! Main ambil-ambil aja! Lo punya sendiri!"

"Lah gue pikir punya lo nggak mau dimakan. Ngomong makanya."

Yeee. Perlu banget apa aku ngomong nggak penting dengannya? Walaupun sebenarnya isu kulit krispi yang harus dimakan terakhir merupakan hal penting buatku.

Setelah selesai makan, aku cuci tangan, lalu kembali ke tempat tadi. Darevan malah sibuk membersihkan mengelap jari-jari berototnya tersebut menggunakan tisu.

"Lo bisa diajak serius, kan?" tanyaku memulai obrolan. "Kalau lo nggak bisa diajak serius, gue bersumpah, gue nggak mau gubris lo lagi."

"Iya, iya," balasnya dengan nada mencibir. "Kenapa? Eh, gue mau cuci tangan dulu. Jangan kangen."

Aku menghela napas sambil memutar bola mata. Di sekolah tadi, aku sudah menyiapkan pernyataan yang hendak kulemparkan ke Darevan. Pokoknya hari ini harus kelar! Biar besok-besok aku sudah bisa hidup dengan tenang kembali.

Nggak lama, manusia yang menjadi perhatian banyak orang itu kembali duduk di depanku, menampakkan wajah keingintahuannya.

"Gimana? Gimana?"

Lagi-lagi aku menghela napas. Nggak tahu kenapa kalau aku berada di sekitar Darevan, pasti ada saja perasaan lelah, pasrah, dan ah ah lainnya. Bukan ah ah yang itu.

"Jangan bercanda lagi. Kali ini gue udah nggak bisa toleransi bercandaan lo. Stop di sini, gue anggap kejadian kemarin nggak ada, dan kita bisa balik lagi kayak tom and jerry yang dulu."

Darevan terdiam sejenak, namun netra matanya seperti sedang memojokkanku. "Bercanda? Apanya yang bercanda?"

"Kemarin--"

"Bagian mana yang lo sebut dengan ber-can-da?" Darevan menekankan ucapannya.

Pertanyaan Darevan cukup menohok hatiku. Tentu saja aku ingin bilang bahwa semuanya hanyalah bahan bercandaannya! Memang ada bagian yang dia bilang dalam kategori serius? Sejak kapan dia jadi seserius ini?

Tapi, mulutku terkunci akibat sorot tajam matanya tersebut.

"Kenapa lo nggak bisa menghargai perasaan gue, sih?"

Eh......? Aku nggak salah dengar, nih?

"Lo pikir gampang ngutarain perasaan?"

"..."

"Dan lo dengan seenaknya bilang 'gue lagi bercanda' gitu?"

Kenapa kok aku yang kena semprot, sih? Harusnya aku yang mendampratnya! Sekarang yang terpojok malah aku.

"Lo marah sama gue?" Aku ingin memanfaatkan keadaan di mana aku bisa memojokkan dirinya.

"Jelas. Mau dilihat dari sisi manapun, orang-orang pasti bakal mihak gue."

Idih, pedenya itu lho setinggi puncak Candi Borobudur.

"Kalau marah, ya udah. Kenapa lo masih maksa gue?"

"Ya karena emang gue nggak mau ditolak." Aku langsung dibuat bungkam olehnya. "Apa salahnya sih jadi pacar gue? Lo nggak lihat bahkan banyak cewek yang rela ngantri buat jadi cewek gue?"

Ya memang karena alasan itu, guobloooooooooook. Memangnya aku bisa menandingi paras cantik nan body aduhai cewek-cewek yang rela mengantri untuk jadi pacarnya? Semua orang juga tahu kalau badan besarku ini keturunan, dari janin aku sudah punya bibit buat jadi orang gendut, susah untuk diubah menjadi tubuhnya Song Hye Kyo. Mus-ta-hell!

Tapi, aku sakit hati juga kalau dibilang seperti itu. Istilahnya dia menganggap aku seperti 'menyia-nyiakan sesuatu yang berharga'. Harusnya dia juga menghargai keputusanku, dong?

"Lo sadar nggak sih? Apa yang lo omongin kemarin cuma mengangkat harga diri lo sendiri? Bangga-banggain lo sendiri?" Ini yang sedari tadi ingin kudampratkan ke wajahnya itu. "Lo pikir dengan lo bersikap kayak gitu, cewek bakal nerima elo?" Aku berdecih. "Bahkan gue aja yang cuma upik abu nggak bakal mau, dan lo udah tahu sendiri jawaban gue, kan?"

"Gue ya gue, ini cara gue. Kenapa gue harus bersikap seperti orang lain?"

"Itu egois namanya!" Aku menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya. Sumpah, aku sudah kesal setengah hidup ditambah setengah mati. "Cewek nggak bisa dikasarin, Dar. Lo pikir cewek suka dipaksa-paksa? Cewek nggak suka kalau dipermalukan di depan umum, apalagi dipermalukan sama cowok. Dan itulah kenapa gue menolak elo, karena... lo udah mempermalukan gue di depan banyak orang."

"Lo malu?"

Alisku berkedut. Memang aing kudu sabar menghadapi manusia dengan otak batu ini. "Masih perlu ditanya?"

[***]

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang