[8] Reckless

371 48 3
                                    

Bocah gendeng ini... mau ngapain coba dia di sini?! Kupikir tadi dia memang Fabian, makanya aku bersikap biasa-biasa saja karena perawakan mereka berdua hampir mirip. Tapi, kok, tumben banget Fabian sewangi ini. Biasanya juga pulang ngampus bau apek gara-gara nggak pernah absen main futsal.

"LO..."

"Ayo makan dulu, makan dulu," bunda interupsi. Aku menoleh ke arahnya, meminta penjelasan. Tetapi bunda hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak ada hal yang perlu dijelaskan. Kalau ayah, dia cuek bebek saja seperti biasa.

Aku bingung. Aku yang tadinya lapar, sekarang malah merasa nggak berselera. Sambal terasi buatan bunda pun bahkan sama sekali nggak kulirik. Padahal itu satu-satunya makanan yang membuatku berselera penuh.

"Kamu nggak makan, Sa?"

Aku menoleh ke arah bunda. Sebenarnya aku ingin marah, tapi marah ke bunda pun bukan hal yang pas dan pantas. Lantas, aku harus marah sama siapa? Kenapa nggak ada yang mau menjelaskan padaku?

Oke. Aku tahu. Ini lebay. Tapi, kenapa cowok gendeng ini bisa ke rumahku? Kenapa bunda membiarkannya masuk dan bahkan membiarkannya ikut makan malam dengan keluargaku?

"Katanya kalian baru resmi pacaran kemarin, ya?"

"What?!"

Aku menoleh ke arah bunda, kemudian ke arah Dadar Gulung. Dia mesem-mesem saja, apalagi bunda. Kelihatan banget happy-nya nggak bisa dipendam lagi.

"Revan yang bilang ke Bunda. Kok kamu nggak ngomong-ngomong ke Bunda sih, Sa?"

Sumpah. Aku benar-benar ingin mencekik Si Dadar sekarang juga. Tapi masih ada ayah, dan itu nggak mungkin kulakukan sekarang.

Aku beranjak dari kursi, kemudian menarik tangan Darevan. "Aku mau ngomong dulu sama dia."

"Eh? Tapi ini lagi--"

"Cepetan!" ucapku sambil berdesis dan melotot.

Aku langsung menariknya ke taman belakang, di mana merupakan satu-satunya tempat yang paling aman. Sesampainya di sana, aku langsung mengempaskan tangannya yang sedari tadi kutarik.

"Maksud lo apa tiba-tiba ke sini?" tembakku langsung.

"Lah? Lo sendiri kan yang minta bukti? Nih." Darevan melebarkan kedua tangannya. "Gue udah di sini, gue udah ngebuktiin kalau gue serius."

Dia ini gila apa ya?! Dikata mau lamaran apa sampai harus bertemu dengan orang tuaku?!

"Lo harus pulang, right now."

"Nggak mau." Darevan melipat kedua tangannya di depan perut. "Gue udah ngasih bukti dengan memberanikan diri ke hadapan orang tua lo. Sekarang lo nggak bisa nyangkal lagi."

Aku gelisah. Mau bagaimana pun, ucapannya barusan benar-benar terdengar seperti pemaksaan diri. Harusnya mah ya, dia romantis kek, walaupun belum tentu aku bakalan percaya 100% padanya sih.

Nah, kan. Memang sudah dari awal aku memang punya krisis kepercayaan padanya.

Tapi... aku akui. Dia orang ternekat yang pernah kutemui. Bahkan Gemini saja nggak berani ujug-ujug ke rumahku kalau nggak ada aku di sampingnya. Tapi cowok kresek ini... nggak tahulah malunya itu disimpan di mana.

Aku mendesah. "Oke, sekarang gue percaya. Tapi lo harus pulang."

Itu satu-satunya cara agar aku bisa mengusirnya pulang. Karena kalau marah-marah pun, orang rumah pasti bakalan kepo. Menyeret Darevan keluar dari ruang makan saja pasti banyak mengundang tanya.

"Masa pacar sendiri diusir?"

Sudut mataku berkedut. "Hah? Gimana?"

Darevan menganggukkan kepalanya. "You're mine, and I'm yours. Okay?"

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang