[12] Doubting

315 33 6
                                    

Sudah berapa lama aku menelantarkan Dadar dan Ndut?

😗😗😗😗😗😗

Aku menelan ludah, tapi tenggorokanku kering kerontang. Sialan. Aku bahkan nggak berani untuk sekadar melirik Darevan yang sedari tadi... memandangiku sambil bertopang dagu menggunakan tangan yang satunya.

"Ini harus kayak gini terus sampe 15 menit?" tanyaku yang bahkan masih nggak bisa menatap Darevan.

"Kuping kamu merah, tuh. Abis direbus, heh?" ejek Darevan, membuatku langsung menutupi daun telinga dengan rambut. "Namanya juga dare, harus ditepatin dong."

Aku mendengus, benar-benar nggak tahu apa yang harus kulakukan selain memerhatikan orang yang sedang berlalu lalang. Mana tanganku mulai keringetan lagi. Nggak tahu apa ya daritadi aku degeun degeun kayak gini? Dasar syaiton.

"Lihatnya ke sinilah," Darevan menarik daguku pelan, "muka ganteng gue kan di sini."

"Cih!" Aku langsung memberi respon refleks.

Darevan terkekeh, lalu membawa tanganku yang masih digenggam olehnya ke hadapan wajahnya. "Tangan lo ternyata imut, ya. Tipe jari-jari pete."

"Apaan tuh?"

"Itu, tipe jari yang panjang terus dia ngerucut, lentik, kayak elo," Darevan mrmbuka telapak tanganku, kemudian kembali menyatukan jari-jarinya ke sela-sela jemariku. "Ini jari bisa kayak gini gara-gara main gitar apa emang keturunan?"

Aku sendiri baru mengetahui bahwa aku memiliki jari-jari yang sudah disebutkan oleh Darevan tadi. Masalahnya, karena setiap hari aku sudah kebiasaan melihat anatomi-anatomi alat gerak keluargaku, jadi aku merasa biasa saja sebelum Darevan mengatakan hal tersebut. Jadi, bisa kupastikan bahwa ini sepertinya memang keturunan.

"Mohon maap nih, ya, kalau keturunan dewa dewi Yunani emang begini semua. Jadi, jangan kaget."

Darevan malah terkekeh, masih memegang jariku, dan entah kenapa aku juga ikut-ikutan. Dan tiba-tiba saja, netra Darevan berpindah menusuk mataku. "Nggak deg-deg-an?"

"H-hah?"

Darevan tersenyum lagi, semakin lebar, tapi aku nggak tahu apa artinya.

"Udahan dong, Dar..." desisku pelan. "Dilihatin orang banyak woy."

"Lihatin baliklah," balas Darevan nggak acuh. "Kenapa? Malu?"

"HAYOLOOOOOOO!"

Aku refleks menepis tangan Darevan begitu sesosok yang tidak kuingin lihat datang tiba-tiba. Rexy, si ketua kelas ndablek, yang punya mulut di mana-mana.

"Assalamualaikum Bapak-Ibu. Abis lebaran, ya? Salaman mulu daritadi saya lihat," Rexy mengakhiri ucapannya dengan kekehan. Dan aku tahu banget dia sedang mengejek kami berdua.

Aku memasang mode panik, menatap Darevan yang sepertinya gatel banget buat bilang kalau kami berdua... ya gitu.

Rexy menarik kursi dan duduk di samping Darevan, kemudian merangkul bahunya.

"Ngapain lo di sini?" Macam permainan basket, aku memilih defense daripada offense. Lagipula, nggak ada sesuatu yang dapat membuatku menyerang balik ucapan Rexy. Sudah di sudut ini buuuung!

"Lho? Gue yang punya mall. Nggak tau lo? Haha. Nunggu tutup, kasihan karyawan-karyawan gue."

Gembleng. Aku juga bingung kenapa dia bisa kepilih jadi ketua kelas. Dan tentu saja, aku bukan salah seorang yang memilihnya.

"Traktirlah bro," Rexy berbicara pada Darevan, tapi aku tahu sekali apa maksudnya tersebut. Aku menggigit bibir bawahku. "Jadi kalian main backstreet nih?"

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang