[21] Feeling Insecure

345 35 8
                                    

Haeeeeeeeeeeee! Aku rindu sama cerita ini, kalian enggak kah? Maaf kalo terkesan slow update karena pertama aku terserang sibdrom writer's block, bingung mau dilanjutin kayak gimana. Kedua, aku lagi (sok) sibuk ehehe karena lagi profesi, jadi sekarang lebih aktif baca cerita-cerita wattpad orang lain daripada nerusin cerita sendiri. Muup yah.

💜💜💜

"Ngomonglah, sok atuh."

"Min, ayo balik," kutarik lengan Gemini, dengan atensi Darevan serta Rexy mengarah padaku. Aku sengaja menghindari tatapan Darevan dan terus menarik tangan Gemini. Lagipula, urusan Gemini sudah selesai, dan aku yang dari awal pun bukan menjadi bagian dari persidangan Rexy tadi seharusnya sudah memulangkan diri.

"Eh Nd---Min!"

Gemini terpaksa menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Darevan dengan tatapan keheranan. Akh! Itu orang! Kenapa hampir bisa keceplosan memanggil namaku sih?! Sudah tahu di sini ada Roby, Gemini, dan Ica. Masa hubunganku tersebar begitu saja akibat kecerobohannya?

"Apaan?" balas Gemini cuek.

"Utang lo belum dibayar!"

"Lah? Utang apaan?"

"Pokoknya utang!" Dia berteriak pada Gemini, bahkan salah satu tangannya juga ikut menengadah, tetapi dia melirik ke arahku, seakan memberikan kode--yang sayangnya aku malas mengartikannya.

"Idih! Nggak jelas lu!" Gemini malah sewot sendiri, lalu mengalungkan tangannya pada lenganku. "Ayo, Sa, balik. Anterin gue sampe halte, ya?"

"Eh? Iya."

Setelahnya, aku lebih menurut untuk ikut dengan Gemini yang gencar menarik lenganku. Entah kenapa, rasanya aku juga nggak rela melihat Ica dan Darevan berduaan ngobrol begitu. Maksudku, kayaknya kalau cuma pengin berterimakasih karena sudah membawanya ke UKS, rasanya nggak perlu ngobrol berdua doang, deh, kecuali memang ada maksud lain.

"Sa," panggil Gemini, tapi dia tidak mendongakkan kepalanya ke arahku. Hm. Aku jadi baru sadar. Ternyata tinggiku dengan Gemini memang mental sekali. "Lain kali, kalo ada orang yang ngebacot kayak si bangsat tadi, dilawan aja ya. Lo jangan diem. Kalo lo diem, artinya mereka yang menang. Ngerti kan maksud gue?"

"Iya," balasku sekenanya.

Pun entah kenapa orang ini malah memukul lenganku, membuatku mengernyitkan dahi. "Jangan iya-iya! Elu mah kalo gue ceramahin cuma lewat lorong telinga doang, nggak meresap sampai otak."

Tuh, kan. Sebenarnya, mungkin kalau orang yang nggak terlalu mengenal Gemini, dia akan merasakan sakit hati akibat ucapannya barusan. Tapi bagiku itu sudah biasa, toh aku memang sudah kenal luar dan dalam perempuan mini ini. Perangainya memang galak, kalau ngomong juga asal ceplas-ceplos, tapi dia orang yang jujur. Kalau nggak suka, dia bakal bilang langsung, bukan dipendam dan dendam. Nggak kayak aku. Pacaran saja pakai ngumpat-ngumpat segala, hiks.

"Karakter orang kan beda-beda, Min. Tapi gue usahain buat ngelawan. Makasih ya udah mau ngebela gue, jadi terhura deh."

"Lo pikir gratis?"

Kuputar bola mata jengah. "Iya, iya. Gue jajanin cilok goceng. Ayo, sekalian balik."

Gemini pun terkekeh.

⚫⚫⚫

"Lagi ngapain? Kok baru diangkat telepon gue? Kok tadi main pulang aja?"

Nggak halo, nggak salam, ini orang main nyerocos saja pas aku mengangkat telepon darinya. Sudah begitu ini panggilan yang ke berapa kalinya karena aku memang nggak tahu ada telepon darinya. Selain itu sedari tadi aku memang sedang berada di bawah untuk makan malam.

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang