[3] Volley Club

565 54 0
                                    

Setelah menumbuk kentang dan mencampurnya dengan bahan-bahan lain termasuk fermipan, aku harus menunggu bahan itu mengembang, dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Sa, daripada kita nggak ngapa-ngapain, mending nonton voli, yuk?"

Aku mengernyit. "Dari sekian banyak ekskul yang ada di hari ini, kenapa harus voli yang dilihat?"

"Belahan jiwa lo kan di sana."

Kutu! "Belahan pantat, iya."

Gemini terkekeh. "Udah ah, yuk. Lagian, nggak mungkin kan kita nontonin ekskul mading? Gue sama lo bukan tipe kakek-kakek penikmat koran dan kopi di semilir pagi. Ayo, ah!" Gemini melilit lenganku dan menariknya keluar dari ruangan.

"Heh, kalian mau ke mana?" Si ketua cooking club--Marin--berkacak pinggang sambil menunjuk kami menggunakan spatulanya.

"Gue mabok fermipan!" balas Gemini sambil membuat mimik teler di wajahnya. "Gue mual. Mau cari udara segar," a.k.a cowok segar, itulah pembenaranku dalam hati Gemini.

Akhirnya kami berdua keluar dengan gelengan kepala dari Marin. Aku dan Gemini sama-sama masih memakai apron, biar kita kelihatan anak cooking club banget. Lagian, nggak perlu malu. Kita berdua--kayaknya semua anak cooking club sih--sering keluar dari ruang club dengan masih menggunakan apron baik mau ke kamar mandi atau juga ke luar sekolah untuk membeli bahan makanan di warung terdekat.

Kami berdua berjalan menuju lapangan indoor. Hawa-hawa panas mulai merasupi pori-pori leherku begitu mendekati pintu lapangan indoor. Aku nggak pernah melihat anak-anak voli berlatih menye-menye. Mereka selalu digandrungi dengan semangat membara.

Aku dan Gemini memasuki lapangan, duduk di tribun tengah untuk mendapatkan view yang bagus. Sepertinya, anak voli sedang tanding antar tim, karena pelatih mereka duduk di meja pergantian skor.

Jangan salahkan mataku karena fokusku tiba-tiba berpindah pada Darevan. Salahkan tinggi tubuhnya dan keseriusan mimik wajahnya yang memandang menembus net ke arah lawan. Keringat yang membasahi sela-sela rambutnya pun tak membuat cowok itu terganggu.

Seorang cowok berambut cepak melemparkan serve pertamanya ke arah lawan. Aku cengo begitu menyadari bahwa pukulan serve cowok itu bisa sampai ke lapangan lawan. Kalau aku? Huh. Boro-boro. Sampai 2 meter saja enggak, yang ada tangan malah kepelintir sendiri.

Bola itu terus saja terayun, enggan untuk menyentuh lapangan karena kedua tim terus berusaha menjaga daerah kekuasaannya. Ada yang sampai terjengkang, jatuh ke samping, jatuh tengkurap, lalu mereka langsung bangkit.

"Voli itu keras ya, Sa," senggol Gemini tanpa melirik padaku.

Aku mengangguk. Bukan hanya kali ini kami berdua menonton pertandingan voli--walaupun hanya latihannya saja. Tapi, ketika melihat mereka latihan keras seperti itu, aku memutuskan bahwa permainan voli sangat membutuhkan asuransi kesehatan bagi para pemainnya.

"Dada sama perut gue rata kalau gue ikut main voli kali, ya," celetukku ketika kembali melihat seorang pemain jatuh tengkurap hanya untuk menyelamatkan bola tidak menyentuh teritorinya.

"Lo kalau kurusan dikiiiit lagi, cakep Sa."

"Gue segini aja udah cantik, kok," kataku sambil mengibaskan rambut ke belakang.

"W-WOANJRIT!" Ketika Gemini berteriak, aku menahan napas melihat Darevan sedikit berlari dari arah kiri lapangan dan men-spike bola.

CTASS!

Pada akhirnya, bola itu menyentuh lapangan lawan walaupun dari arah lawan sudah mencoba mem-block spike dari Darevan. Refleks, aku dan Gemini bertepuk tangan, merayakan pencetakan skor mereka.

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang