[2] Cooking Club

622 53 1
                                    

"Kentang, terigu, mentega, gula..." Aku kembali memeriksa keranjang, melihat bahan-bahan makanan yang akan kubawa ke sekolah.

Dari kelas X, aku mengikuti cooking club yang merupakan salah satu ekstrakulikuler—keibu-ibuan—di sekolahku. Peminatnya memang tidak terlalu banyak, sih. Sampai sekarang, anggota cooking club hanya berjumlah 20 anak, itu pun juga berkurang karena anak kelas XII sudah mulai disibukkan dengan try out.

Aku membawa keranjang tersebut keluar, sambil menyampirkan tas selendang kecil berwarna toska favoritku. "Buuun! Aku berangkat, ya! Assalamu'alaikum!" teriakku dari luar rumah dan berjalan menuju motor yang sejak 10 menit lalu sudah kupanaskan mesinnya.

"Wa'alaikumsalam!" sahut bunda. "Hati-hati! Jangan ngebut ya, Sa!"

"Siap Bu Bos!"

Aku duduk di jok dan memakai helm boogy-ku, kemudian menurunkan standar motor belakang dan bersiap menancap gas meninggalkan pekarangan rumah. Jarak rumah dan sekolahku memang agak jauh, maka dari itu aku difasilitasi bunda motor vespa mini toska yang juga merupakan hadiah ulang tahunku di sweet seventeen lalu.

Sekitar 20 menit tanpa kemacetan, aku sampai di sekolah. Di hari Sabtu, suasana sekolah pun tetap ramai walaupun tidak ada seorang siswa pun yang mengenakan seragam, karena hari Sabtu memang dikhususkan untuk menjalankan kegiatan ekstrakulikuler.

Aku memarkirkan motor dan mengambil keranjang makananku. Sebenarnya, tadi aku sempat mengeluh karena ternyata lapangan sedang dipakai untuk volley club, padahal ada lapangan indoor. Bukan apa-apa. Di volley club itu, ada Si Dadar. Dan kalau aku mau menuju ruang cooking club, mau nggak mau dan memang harus aku melewati lapangan, yang itu berarti akan ada ejekan berkelanjutan.

"Eh, Ndut!"

Tuh, kan. Kubilang juga apa.

Aku melirik ke lapangan. Ternyata yang mereka lakukan sekarang adalah pemanasan dengan berlari memutari lapangan. Tapi, pemanasan kan juga bisa dilakukan di lapangan indoor, ngapain pakai di luar, sih?

"Ndut!" Aku terus mengabaikannya dengan berjalan tanpa mencoba untuk melirik-lirik lagi. Tapi usahaku nihil, ternyata dia menghampiri dan menyamakan langkahku walaupun dengan gaya berlari. "Budek lo ya?"

"Lo ngomong?"

"Lo dipanggil sama Yang Maha Kuasa!"

Sudut mataku berkedut. Aku hampir saja ingin meninju wajahnya yang tengil itu. Apalagi ditanganku ada keranjang. Aku bisa saja melemparkan keranjangku ini ke wajahnya yang banyak orang bilang bahwa dia ta(i)mpan.

"Idih, ngambek!"

Darevan menempeleng kepalaku. Bukan menggunakan salah satu jarinya, tetapi telapak tangannya dia gunakan untuk menutup wajahku dan mendorongnya sedikit ke belakang, sehingga membuat kepalaku defleksi.

"Akh!"

"Eh? Sakit, ya?"

"Ya sakit, goblok!" sarkasku sambil memandangnya dengan tatapan benci. Sudah tahu dia atlet voli, sedikit tenaga yang dia keluarkan sangat berefek besar pada korbannya. "Kalau mau nempeleng tau diri, dong!"

"Emang nempeleng perlu nawaitu?"

"ISH!"

Aku berjalan cepat menjauh darinya, tetapi aku tahu, yang kulakukan tetaplah sia-sia karena dia bisa menyeimbangi langkahku. Aku benar-benar malas untuk sekadar meliriknya. Dari sekian banyak cewek, aku yang paling nggak bersyukur karena menerima kedekatan dengan Darevan. Itu sih kata cewek-cewek yang nggak sengaja melipir di telingaku.

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang