[28] Unmood

188 20 2
                                    

"Nggak jelas lo, HAH! Dah, ah! Gue mau pulang!"

Lagipula, siapa yang nggak bete sih kalau malah disuruh berhenti diet? Dianya saja yang nggak tahu sebesar apa rasa insekuritasku pada bentuk tubuh ini. Dia sih enak! Punya badan tinggi, tapi lemaknya seuprit! Lah aku? Sudah kayak bakso berjalan gini, masih dibilang disuruh berhenti diet? Yang benar saja!

Sebelum aku benar-benar bisa beranjak dari ranjang, lenganku sudah dicekal terlebih dahulu.Gini-gini, walaupun tubuhku berat, tenaga ini orang memang nggak main-main. Dia masih bisa menahanku untuk tetap duduk di pinggir ranjang.

"Nggak boleh! Apa-apaan? Tadi kan lo udah janji mau nemenin gue buat latihan!"

Wajahku mendelik. "Kapan gue janjinya anjeng!?"

Belum sempat kembali meluapkan amarah, telapak besarnya itu sudah membekap mulutku dengan gerakan cepat; lebih tepatnya aku merasa seperti ditabok karena tenaganya.... astaghfirullah Dadar berdosa banget.

"SAKIT ANJENG!"

"HUSHHH! NGGAK BOLEH NGOMONG KASAR!"

Langsung kutepis tangannya itu. Sialan sekali, berani-beraninya menabok mulutku, mana rada sakit pula. Memang ya, tiada hari tanpa bertikai dan adu bacot dengan orang ini.

"Kayak hidup lo suci aja, sih?! Noh semua isi pet shop lo keluarin semua kalau lagi ngumpul ama temen-temen lo! Telinga gue kepasang ya! Emangnya gue nggak denger apa?!"

"Itu beda. Pokoknya kalau kita lagi berdua, nggak boleh absenin binatang di pet shop ya sayangku," katanya sembari mengelus sisi wajahku, yang lagi; kutepis dengan perasaan kesal.

💜💜💜

Pada akhirnya, aku menemaninya untuk makan. Sebenarnya, bukan menemani, sih, karena aku juga ikut makan. Aish! Gagal diet deh hari ini, soalnya Darevan bilang mau membawaku ke warung sate, which is saus kacangnya melimpah! Tahu sendiri kan kacang itu lemaknya tinggi banget!

Oh, tapi, okay, aku akan menyiasatinya biar nggak terlalu merasa berdosa banget gitu.

"Bang! Sate ayam dua porsi, sate kambing dua porsi, ya!"

Hah? Banyak betul?

Ah, paling buat orang tuanya di rumah nanti.

"Yoi! Makan di sini?"

"Yoe! Jangan lupa, nasi gunung, ya! Empat-empatnya!"

Eh? Ini orang gila apa gimana, ya? Kalau misal dua porsi, sih, aku yakin orang ini bisa menghabiskannya. Secara dia kuli, olahraga tiap hari, energinya pasti cepat habis.

"Ih! Bang! Yang satu nasinya setengah porsi aja! Jangan banyak-banyak!"

"Kan gue udah bilang, nggak boleh diet!" Darevan kembali menyentakku. "Udah, Bang! Penuhin aja nasinya!"

"Ih nanti kalo nggak abis mubazir, geblek!" Tentu saja aku nggak takut untuk memarahinya balik. "Lagian, lu sanaggup makan tiga porsi kuli? Abis, nggak? Jangan mesen banyak-banyak!"

"Tiga porsi?" Alisnya menukik. "Gue dua porsi kok, lo juga dua porsi."

"Gila lo ya?!"

Mau nggak mau, aku menghampiri abangnya langsung, benar-benar mendekat supaya dapat mengubah pesanan makanan. Gila kali aku makan dua porsi?! Sudah gitu porsi nasinya menggunung lagi!

Sumpah, oke, ini juga karena masalah diet. Tapi, aku juga nggak mungkin menghabiskan makanan segitu banyak. Butuh berapa jam zumba untuk menghilangkan kalori yang nanti akan kumakan?!

"Bang! Bang! Tiga porsi aja, Bang, sumpah! Itu anak lagi nggak waras. Jadi, tiga porsi aja, yang satu nasinya setengah aja, jangan banyak-banyak. Mubazir Bang kalo nggak saya abisin, jadi daripada mubazir, mending turutin aja Bang kata saya, yak?"

"Ya udah, satenya sate apa nih Dek?"

"Ayam aja, Bang, bumbu kacangnya jangan banyak-banyak, ya? Jangan sampe tumpah pokoknya!"

"Hadooooo! Ribet betol perempuan. Ya udah! Nanti Abang bikinin kalo inget."

"Ya kudu diinget lah, Bang! Gimana sih Abang!" Pengin banget kujambak kumis ala Maduranya itu.

Setelahnya, aku kembali menghampiri Darevan yang telah mendapati kursi kosong. Pas aku duduk di hadapannya, dia bahkan sama sekali nggak melihat ke arahku. Dih! Seharusnya kan aku yang marah, kenapa jadi dia yang ngambek begini?

Belum selesai dengan ketidakjelasannya itu, tiba-tiba saja ada seseorang yang duduk tepat di sampingnya, ah, lebih tepatnya hampir macam ulet keket; lengket bener bor!

"Eh, Evan, dah lama nggak ketemu. Kamu apa kabar, Van?"

Aku dapat melihat laki-laki di depanku ini sempat berjengit, namun setelahnya tampak biasa saja saat melihat perempuan di sampingnya.

"Baik. Kamu?"

Baik.

Kamu?

Ba-ik.

Ka-mu-?

CIH!

KAMU?!

Serasa di taman bunga kali ye ini dua orang, padahal di sini lagi bakar-bakar sate dan asapnya di mana-mana. Tahu situasi dan kondisi, dong!

Dan, apa-apaan itu? Bahkan orang ini sama sekali nggak melakukan pergerakan untuk sekadar menolak; alias terima-terima saja saat perempuan itu semakin melengketkan diri! Bangke!

"Nggak terlalu baik, sih. You know what I mean, lah."

Oke, sepertinya dua orang ini sedang menciptakan dunianya sendiri, dan sekarang pun aku sangat dan butuh untuk berkata kasar. Entah, ya, ubun-ubunku rasanya sedang mencapai titik mendidih paling maksimal.

Jadi, kupanggil saja my harsh word partner, alias; siapa lagi kalau bukan Gemini?

Baru beberapa dering pun, panggilanku sudah diamini di seberang.

"APAAN, SU?!"

Tuh, kan, belum dimulai saja dia sudah menyapaku seperti itu. Telepati antar sahabat sepertinya memang terlalu kuat.

"Assalamualaikum ya ahli kubur. Sa su sa su aja lo njeng."

Nah, aku tahu, Darevan menoleh ke arahku, tapi aku tidak memedulikannya.

Dia sendiri kan yang membuat dunianya dengan perempuan itu?

Cih!

Aku juga bisa!

"Waalaikumsalam ya ahli neraka," jawab Gemini dengan nada sarkasnya, membuatku terkikik. "Lu ganggu, bangke! Gue lagi nge-game! Ngapain sih nelpon-nelpon?!"

"Si babi gonggong mulu, yang alusan dikit napa kalau ngomong."

"Babi ngomong babi kau sat."

"HAHAHAHAHAHAHA!"

Sumpah, ya. Walaupun di telinga orang lain terdengar terlalu kasar, tapi bagiku lucu-lucu saja, karena pada dasarnya kami berdua memang hanya bercanda.

Dan, setidaknya, mulut jahannam Gemini bisa membuatku sedikit lega.

Ya, lega.

Nggak tahu lega untuk apa.

Pokoknya, lega saja.

"Dah, ah! Nggak penting lo nyet. Gue matiin. BHAY!"

"ET SI TAI!"

Setelah percakapan unfaedah itu, aku berusaha untuk terlihat lebih tak peduli bila bahkan dua orang itu sudah menatapku dengan penuh jengah. Bodo amat yeee!

Makanan pun datang, tapi tidak dengan perempuan itu, karena ternyata dia memesan sate untuk dibawa pulang. Ah! Sabodo teuing. Pokoknya, habis makan, aku mau langsung pulang. Pake motorku ini, bodo amat kalau tadi kami datang berboncengan. Biar saja dia pulang sendiri. Cih!

"Van, aku balik duluan, ya," kata perempuan itu setelah mendapat pesanannya. "Dadaaah."

Aku nggak berusaha untuk menguping, tapi, kayaknya seantero oranag di sini juga bisa dengar suara cemprengnya itu.

Hhhhhh! Ngerusak mood saja!

💜💜💜

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang