[5] Seriousless

466 50 1
                                    

Pintu kelas terbuka agak keras, membuat semua kepala menoleh ke arah sana. Kita semua pikir itu guru, tapi teriakan riuh selanjutnya membuatku kesal seketika.

"AKHIRNYA PEMERAN UTAMANYA DATANG, BUNG!"

"Eh, udah pada tahu?"

Sumpah. Aku malas banget melihat muka itu orang. Yang kulakukan hanyalah menutup mata sambil menghela napas. Buat apa aku menunduk? Toh aku nggak salah apa-apa, nggak ada jerawat juga yang perlu kututup-tutupi.

"Dar! Gimana? Diterima apa nggak?" teriak salah satu teman kelasku yang malas kusebutkan namanya. Intinya, dia memang biang gosip di perkumpulan cowok. Jelas saja kalau mulutnya itu suka nyinyir.

"Pasti diterimalah," katanya dengan percaya diri yang membuatku langsung menoleh kaget ke arahnya. Dia pun juga sedang menatapku dengan senyum auto-tonjok itu. Berkat jawabannya tersebut, kelas kembali ramai. Pasar kalah.

"Sabar, Sa, sabar," Gemini menarik tanganku dan mengelusnya pelan. "Emang udah gila itu cowok, nggak punya malu."

Kepalaku pusing, serius. Aku bukan butuh ke UKS lagi, tapi butuh pulang ke rumah! Rasa-rasanya hidupku nggak akan bisa tenang lagi. Sebenarnya dari dulu pun nggak pernah tenang, tetapi karena ada kejadian kemarin, rasanya aku ingin lahir kembali ke dunia.

Tanpa kusadari, Dadar Gulung datang menghampiriku sambil berkacak pinggang. "Kenapa nomor gue diblok?"

"WADUH!"

"WAH! MAKIN SERU, NIH!"

"LANJOOOOT!"

"MASAK AER!"

Di hari Minggu, ponselku mati total. Sengaja. Bukan karena rusak, melainkan karena si setan itu terus saja mengangguku. Sudah kublok nomornya, tetapi tetap saja ada nomor baru yang terus menerorku, dan aku nggak perlu heran siapa pemilik nomor tersebut.

Aku malas membuka mata. Dengan gerakan pelan, aku mengibaskan tanganku ke arahnya. "Pergi dari hadapan gue. Gue lagi males lihat lo."

"WUIIIIIH. HIMSA JADI BADASS!"

"KAKKOIIIIII!"

"DAEBAK!"

"NOTICE ME SENPAAAAI!"

ADUUUH! Rasanya aku mau pindah kelas saja kalau punya teman-teman macam setan begini. Nggak ada yang bener!

"Unblokir dulu nomor gue," ucapnya dengan tegas, aku pun mengernyitkan dahi.

"Penting banget?"

Darevan malah menatap Gemini dengan pandangan sengit. "Min, pindah. Gue mau duduk sama pacar."

"ASELOLEEEEE!"

"JOOOOS!"

"Kalian udah jadian?!" tanya Gemini dengan nada antusias.

Aku pun menatap elang Gemini. "Menurut lo aja, Min."

"Min, pindah," ucap Dadar lagi, memaksa Gemini untuk tukar tempat duduk.

"Apaan sih lo. Nggak mau gue," balas Gemini yang membuatku terharu. "Orang kata Himsa lo juga belum diterima sama dia, main bilang pacar aja."

Darevan menatap Gemini dengan raut wajah santai. Salah satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Min, gue traktir deh istirahat nanti. Mau nggak?"

"Heh!" hardik Gemini. "Persahabatan itu nggak bisa dibeli pakai uang!"

"Seminggu, Min. Yakin?"

"Eh, iya deh. Boleh," kata Gemini yang langsung berdiri dari tempat duduknya, mengambil tasnya lalu berjalan meninggalkanku.

"Gemini bangsaaaat!" desisku saat Gemini berlari kecil tanpa mau menoleh lagi ke arahku.

"Heh, mulutnya yang cantik ya. Nggak boleh ngomong kasar."

Aku menghela napas ketika merasakan keberadaan Darevan yang semakin dekat. Aku nggak ngerti, kenapa dia punya muka tebal banget, sih? Nggak malu apa sama kelakuan sendiri?

Karena kekesalanku sudah memuncak, akhirnya mau nggak mau aku harus melawannya. "Dar, kalau hitungan ketiga lo nggak mau minggat dari itu bangku, gue—"

"Ngitungnya sampai 100 dong, biar lama."

Aku menggeram, pengin banget rasanya menjambak rambutnya.

"Gue—"

"GOOD MOWNING STUDENT-STUDENT!"

Oh, God. Kenapa guru harus datang di waktu yang nggak tepat, sih?!

[***]

Dan pada akhirnya aku harus bertahan duduk dengan Dadar Gulung Jelek Menjengkelkan itu. Seharusnya ketika pergantian pelajaran, aku bisa mengusirnya. Tetapi, dia terus saja bertahan hingga guru selanjutnya masuk ke kelas.

"Lho? Sejak kapan kamu duduk sama Himsa, Van?" Pak Rio, guru Biologi, pun mengetahui keganjilan di kelas ini.

"Sejak Himsa jadi pacar saya dong, Pak."

"UDUDUUUUH!"

Pak Rio malah nyengir saja. "Pajak jadianlah, traktir temen sekelasmu, sekalian traktir saya."

"Ntar aja Pak kalau udah nikah, kan bakalan dikasih makanan gratis, sepuasnya."

"WADEZIG!"

"BAU-BAU LULUS LANGSUNG KAWEN NEH!"

"WANJENG UDAH NGOMONGIN NIKAH AJA!"

"Heh siapa tadi itu yang bawa-bawa nama hewan?" tegur Pak Rio.

"Bowo Pak, Bowoooo!"

Bowo yang sebenarnya nggak ngapa-ngapain pun langsung murka. "Lah, gua nggak ngapa-ngapain taiiiik!"

"Nah, kan mulut. Sini, maju kamu!"

"Pak! Ya Allah, bukan saya Pak!"

"Sama aja," Pak Rio menyuruh Bowo maju ke depan. Dan aku pun sama sekali nggak tertarik untuk melihat apa yang terjadi di depan kelas.

"Lemes amat, Ndut. Belum sarapan?"

Sumpah, ya, dengan dia yang bersikap sok manis seperti itu pun nggak membuatku tertarik sama sekali, justru membuatku muak dan semakin enggan untuk melihat wajahnya.

"Ndut, kalau diajak ngobrol bales apa, emangnya lo patung?"

"Talk to yourself," balasku dengan nada sengit."

"Yah, ntar gue dikira gila."

"Emang lo udah gila. Nggak sadar?" Aku berbicara pelan, namun dengan nada nyelekit. Ini lebih menyakitkan daripada harus teriak-teriak.

"Sadar. Tapi yang buat gue begini kan elo, tanggung jawab makanya," balasnya dengan nada santai, ucapan nyelekitku barusan seperti angin lalu saja baginya.

Pada akhirnya aku menoleh ke arahnya, namun dengan netra permusuhan. Sumpah. Aku nggak mengerti mengapa tiba-tiba sikapnya seperti ini. Nggak ada yang tahu kan kalau ternyata dia hanya sedang taruhan saja? Atau memang dia ingin bermain-main denganku di level yang lebih tinggi, alias dia benar-benar ingin membuatku marah.

"Dar, udahlah," ucapuk dengan pasrah. Capek menghadapi sikapnya yang seperti ini.

"Udah gimana?"

Aku berdecak. Pasti sebenarnya dia tahu apa arti perkataanku barusan. Lihat saja kelakuannya, memasang senyum setan tanpa dosa dan disebarkan ke penjuru kelas. Dia kira ini sedang di panggung apa? Bermain drama?

Aku nggak bisa berbicara empat mata dengannya sekarang, nggak di sini, nggak di tempat di mana banyak orang. Manusia satu ini kalau didiamkan saja malah semakin menjadi.

"Pulang sekolah, gue mau ngomong sama lo. Berdua."

"Serius?" Tuh, malah ditanggapi dengan senang. "Oke. Mau sekalian makan nggak?"

Aku menghela napas. Susah ngajak manusia ini untuk serius.

[***]

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang