[24] Gone

164 23 2
                                    

Dadar nggak masuk, ini bahkan sudah hari ketiga, tapi bocah itu sama sekali nggak kasih kabar ke anak-anak kelas, atau setidaknya ke sekretaris kelas buat pengurusan absensi. Sampai sekarang, dia pun nggak telpon atau bahkan ngechat aku. Ini orang kayak lagi ditelan bumi, bahkan chat yang kukirim cuma centang satu. Ditelpon nggak bisa nyambung terus.

Khawatir? Hm, mungkin kali ya. Soalnya, sebagai pacarnya pun, walau cuma backstreet, aku sama sekali nggak diberitahu perihal absensinya kali ini; yang tiga hari berturut-turut. Nah, kalau misalnya saja di sekolah nggak masuk, apa iya dia juga nggak latihan buat turnamen?

Hah! Nggak tahulah!

Ada Dadar bikin pusing, nggak ada dia juga dibikin gelisah. Memang tuh orang ya!

"Sa."

Aku sempat terperanjat, saat tiba-tiba Rexy muncul di hadapanku. Ini orang memang macam setan yang kedatangannya nggak bisa diprediksi.

"Naon, sih?"

"Sini, bentar, di luar kelas."

"Eh, mau ngapain lo?" Ini malah si Gemini ikut-ikutan. Padahal, aku juga nggak tahu si Rexy mau ngomong apaan.

"Mau main catur. Ngapa? Mau ikut?"

"Idih! Kayak otak lo nyampe aja buat main catur," sindirnya sambil melipat kedua lengan di depan perut.

"Jelas nyampelah. Makanya gue ajak Himsa, bukan ngajak lo."

"Hiiiiiiiish!"

"Heh! Udah-udah!"

Memang ya, ini dua orang. Kuperhatikan, kok kayaknya akhir-akhir ini mereka berdua sering banget adu mulut. Kalau si Gemini sih memang doyan ngebacot, cuma si Rexy ini yang entah kenapa jadi suka ngebalas cocotannya Gemini.

"Apaan sih Rex emangnya?" tanyaku penasaran, soalnya ini orang nggak mau ngomong langsung di sini.

"One-one-nine ambulance, nih. Yakin siap ninaninu di sini?"

"Ngomong apaan sih lu?"

Lagi-lagi, yang menyahut Gemini. Lagian, aku juga nggak paham maksud dari Rexy. Dia kalau ngomong memang suka pakai bahasa planet pluto.

Rexy berdecak malas. "Ayo ke depan buruan, di sini ada yang pasang kuping lebar bener."

"Heh! Gue maksudnya gitu?!"

"Nah, tuh ngaku."

Duh. Pusing aku kalau mempertemukan dua gunung meletus ini. Jadi, aku pun dan Rexy segera keluar dari kelas.

"Lo nggak ada kabar dari Dadar?"

Oh, ternyata dia mau ngomongin ini toh. Dalam hati, ternyata Rexy masih bisa menyimpan amanah untuk tetap menjaga rahasiaku dan Darevan. Buktinya, dia mengajakku keluar dari kelas agar anak-anak lain nggak tahu. Ya walaupun diajak keluar kayak gini malah semakin mengundang persepsi aneh dari orang lain, macam Gemini.

"Boro-boro kabar, gue telpon aja nggak nyambung kok."

"Oke. Berarti bukan cuma gue doang. Turnamennya bukan minggu ini kan? Masih dua mingguan lagi?"

Aku mengangguk. Iya, kalaupun dia bolos karena turnamen, aku pasti tahu, tapi tanggal mainnya memang bukan hari ini. Jadi jelas, Dadar lagi bolos.

"Lo nggak mau nyamperin?"

"Hah?"

"Ke rumahnya."

"Hah?"

"Hah hoh hah hoh aja terus lo ampe keong keluar." Nggak Rexy, nggak Gemini, memang kalau ngomong sukanya pakai urat.

Aku pun berdecak. "Emangnya harus, ya?"

"Ya nggak harus, sih. Gue rencana pulang sekolah mau ke rumah dia. Lo mau ikut, nggak? Kali aja tuh orang udah mati kan, kita nggak tau apa-apa."

"Ngawur aja lo kalo ngomong!" Aku memukul lengannya. Dia malah ketawa. Sembarangan banget bocah kalau ngomong. "Ya udah, gue ikut."

🔥🔥🔥

Sejujurnya, sampai sekarang, aku nggak pernah ke rumah Darevan. Diajak pun enggak. Nggak ada inisiatif juga, sih. Lebih seringnya Darevan yang main ke rumahku. Dia sama sekali nggak pernah ngajak juga. Jadi, ini untuk pertama kalinya aku berkunjung ke rumahnya.

Sepulang sekolah, aku sama Rexy langsung berangkat ke rumah Darevan, tanpa beli apapun. Lagipula, kami berdua juga nggak tahu dia lagi sakit atau gimana. Tujuannya memang cuma satu; mau tahu kabar Darevan yang nggak muncul-muncul selama tiga hari belakangan ini.

Saat Rexy memarkirkan motor di depan halaman rumah, aku juga ikut-ikutan; ya karena tentu saja aku nembawa motorku sendiri. Barangkali, ini memang rumah Darevan.

Langsung saja kubuntuti Rexy saat dirinya berjalan menuju pintu rumah, menekan bel berkali-kali saat pemilik rumah masih saja tak membukakan pintu.

Bahkan sampai aku merasa lelah sendiri saat Rexy terus saja menekan bel, tiba-tiba saja pintu terbuka, membuatku refleks mencari keberadaan seseorang dibalik celah itu.

"Anjing. Lama banget lo buka pintu. Lagi overdosis, hah?"

Sekilas, pada akhirnya, kami berdua saling nelempar tatap. Namun dalam sekejap, pintu itu kembali ditutup dengan kasar, membuatku terlonjak hampir mundur ke belakang. Bahkan Rexy saja kembali mengumpat dengan mulut dajjalnya itu.

"Si anjing! Malah diusir. Kampret tuh anak!"

Ya aku juga kaget, sih. Masalahnya, apa dia nggak masuk sekolah gara-gara aku? Kenapa dia langsung tutup pintu begitu saja saat melihatku?

Sebenarnya, aku pengin saja masuk menyeruduk ke rumahnya, begitu pun Rexy. Tapi, takut nggak sopan kalau ada orang tuanya. Padahal, daritadi, Rexy nggak ada sopan-sopannya sama sekali saat menekan bel rumah.

"Woy, Sa. Gimana? Lo mau balik? Yang penting udah tau kan kalo tuh anak masih hidup?"

Ya.... iya sih. Cuma kan aku kepingin tahu alasan dia kenapa nggak masuk tiga hari belakangan ini. Dan juga kenapa dia terlihat seperti menghindariku. Ah! Kenapa aku jadi merasa sedih begini, sih?

"Heh. Lo berdua nggak putus, kan?" Tiba-tiba Rexy ngomong begitu, yang membuatku refleks menggelengkan kepala.

"Nggak, kok...." cicitku pelan. Entah kenapa, aku rada sakit hati saat tadi melihat Darevan menutup pintu dengan begitu kasarnya.

Pasti tadi Rexy juga bisa melihat bagaimana Darevan sempat menatapku sejenak, lalu ya begitu.

"Jangan putus dulu. Lo berdua pacaran aja backstreet. Masa putus juga diem-diem. Macam UN aja lo yang punya cap rahasia negara."

Hah. Ini lagi.

Aku lagi malas bahas itu, jujur. Kalau aku lebih nyaman untuk backstreet, kenapa harus diumbar-umbar ke orang lain? Toh Darevan juga nggak ngeluh, kan?

Atau....

Ternyata selama ini dia mengeluh? Makanya sekarang dia begini padaku? Menghindar? Bahkan nggak mau melihatku?

Hah! Tuh, kan! Pikiranku ke mana-mana lagi!

Tapi, masa gara-gara backstreet, dia jadi begini, sih? Orang waktu itu juga masih baik-baik saja kok. Nggak ada tuh acara adu mulut atau berantem sebelumnya.

"Dah lah. Yang penting kita tau dia nggak kenapa-napa. Masih napas juga orangnya, belum sakaratul maut. Tunggu aja besok udah masuk apa nggak."

Jadi, opsi kali ini kami memilih untuk pulang begitu saja, walau aku masih nggak rela karena belum mendapatkan jawaban atas absensinya kali ini.

Ya, nggak siap juga kalau ternyata itu gara-gara... aku.

🔥🔥🔥

Yang masih setia baca ini, luv lah buat kalian 💜💜💜

Aku kalo lagi bikin cerita ini pasti lagi di euforia kangen masa-masa SMA. Pengin balik lagi gitu, pengin 'memperbaiki' sesuatu di masa itu hahahaha 😒

Ndut.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang