Keluarga Anggara

103 23 2
                                    

"Bunda tuh Chi, kalau bikin kue gagal terus. Bantet lah, nggak ada rasanya lah, pokoknya gagal deh. Anak-anak sampai pada protes tiap kali Bunda bikin kue. Padahal kan, Bunda juga pengen bikinin anak-anak camilan biar nggak pada jajan terus."

"Apa lagi si Mas tuh. Dia kan lahir waktu Bunda masih baru-baru nikah ya, belum bisa masak tuh. Bisanya paling mi, telur sama ngerebus air. Pokoknya kacau deh. Bunda cuma ngandelin bubur bayi instan yang ada di supermarket-supermarket. Ganti-gantian aja rasanya, Alhamdulillah si Mas nggak bosenan anaknya. Mau aja gitu Chi, di kasih makan apa aja."

Bunda Laila, ibunda Kahfi terus bercerita sambil mengocok telur dengan mixernya. Achi yang berdiri di sebelahnya hanya tersenyum sambil sesekali mengangguk menanggapi celotehan wanita yang tetap cantik di usianya yang hampir setengah abad itu.

"Baru deh... setelah si Mas masuk TK, Bunda mulai bisa masak sedikit-sedikit. Tapi namanya anak kecil kan ya, meskipun Bunda udah bisa masak, tapi si Ayah juga sering jajan di luar jadi si Mas lama-lama kecanduan deh itu sama jajanan di luar. Ya McD lah, KFC lah, pokoknya junk food deh. Untung pas udah gedean dikit mau makan makanan rumahan, jadi nggak sering-sering banget lagi mampir ke restoran kayak gitu".

Jadi ini toh alasan dibalik kesukaan Kahfi terhadap burger McDonald. Dalam hati, diam-diam Achi mengomeli dirinya sendiri karena terlalu malas saat diajak belajar membuat berbagai macam masakan oleh Mama dan Mas Rama.

Pokoknya sehabis dari sini Achi janji, dia akan serius belajar memasak banyak makanan enak dan sehat. Jadi kalau Kahfi sedang bersama dengannya, gizi dan kebutuhan makannya bisa terpenuhi.

Duh, wife material banget kan gue???

"Kalau Achi, memang sudah bisa bikin kue dari kecil ya?"

"Eh? Nggak dari kecil banget kok Bun. Mama emang bisnis kue dari dulu sih, tapi Achi baru bantu-bantu sejak setelah papa wafat. SMP lah kira-kira." Sahut Achi. Tangannya sibuk menggunting baking paper untuk melapisi loyang.

Achi menolehkan kepalanya saat dia merasa suara bising mixer yang sejak tadi di gunakan Bunda Laila tiba-tiba berhenti. Ia mendapati Bunda Laila menatapnya dengan tatapan melembut.

"Bunda kenapa?"

"Pasti sulit sekali, iya kan? Maafkan Bunda ya sudah tanya tentang itu sama Achi."

Untuk sejenak, Achi terdiam merasakan usapan lembut yang di berikan Bunda Laila di punggungnya. Kalau dulu saat SMA dia akan menangis setiap mendengar hal-hal seperti ini, sekarang sudah tidak lagi.

"Nggak apa-apa kok Bun. Sudah lama juga."

"Achi sudah jadi anak yang baik dan hebat. Papa kamu pasti bangga."

Hati Achi menghangat mendengar ucapan itu. Jujur saja, selama ini dia selalu merasa kalau dialah yang paling tidak bisa berbuat apa-apa di bandingkan dengan kakak-kakaknya yang lain. Bahkan dia merasa kalau dia sudah sangat banyak menyusahkan Mama. Papanya pergi saat dia baru saja menginjak usia lima belas, masih terlalu dini untuk mengerti apa lagi menggantikan posisi beliau. Jadi Mama dan kakak-kakaknya lah yang harus berjuang untuk menghidupinya.

"Ini kalau udah begini di apain lagi Chi?"

Suara Bunda Laila membawa Achi kembali ke dunia nyatanya.

"Oh, iya. Itu tinggal di masukin aja bahan keringnya Bun."

"Begini?" Tanya Bunda Laila sambil memasukkan campuran terigu dan bubuk cokelat perlahan ke dalam adonan telur yang sudah mengembang.

"Iya. Pelan-pelan Bun. Habis itu di mixer lagi aja sebentar pakai speed paling rendah."

Kedua wanita berbeda usia itu masih asik berkutat dengan adonannya. Tidak sadar kalau keduanya sedang di jadikan bahan omongan oleh dua orang yang berada tak jauh di belakang mereka.





















Me&You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang