Meskipun Achi memang seringkali kembali tertidur setelah shalat subuh, tapi pemandangan kali ini sedikit berbeda dari biasanya.
Selain suhu pendingin ruangan yang sengaja di matikan dan jendela kamar yang terbuka lebar, Achi yang biasanya anti dengan selimut itu kini tengah bergelung di dalamnya sambil sesekali menyedot hidungnya yang memerah dan mampet.
Iya, Achi kena flu.
Dan kerena itulah dia sekarang mengungsikan dirinya ke kamar sang Mama di lantai satu.
"39,5..." Nurlita meletakkan termometer yang baru saja di lepaskan dari mulut Achi di atas meja.
"Ke dokter yuk dek, demam tinggi ini loh kamu." Bujuknya.
Mendengar ajakan Nurlita, Achi langsung menggeleng.
"Nggak mau ah, nanti juga sembuh abis minum obat.. uhuk, uhuk."
Wanita yang beberapa bulan lagi genap berusia 50 tahun itu hanya bisa geleng-geleng kepala karena sudah kehabisan akal membujuk si keras kepala itu. Sejak kecil Achi memang paling tidak suka mengunjungi dokter, rumah sakit, klinik atau apapun yang sejenis dengannya. Kalau disuruh memilih, mungkin gadis itu akan lebih memilih untuk meminum berbutir-butir obat ketimbang bertemu dengan tenaga medisnya secara langsung.
"Ya sudah, kalau begitu Mama turun dulu. Istirahat yang benar, jangan main ponsel dulu." Pesan Nurlita sebelum meninggalkan pintu kamar anak gadisnya yang hanya bisa mengangguk lemah dari atas kasurnya.
Setelah sang Mama benar-benar pergi, Achi menatap langit-langit kamar sambil menghela nafas panjang. Kesal pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya sakit padahal rencananya besok Mas pacarnya akan pulang.
Huhuhu, padahal sudah kangen karena sekian minggu nggak ketemu. Giliran orangnya pulang, malah sakit. Sedih Achi tuh 😭
"Uhuk, uhuk..." Achi terbatuk lagi. Nafasnya masih terasa panas seperti uap klakat kukusan bolu milik mamanya.
"Hatchy!" Achi mengusap hidungnya yang meler dengan tissue. Selain nafasnya yang terasa panas, kedua matanya juga tidak berhenti berair sejak semalam.
Sebenarnya, ini semua salah Achi sendiri sih. Akhir-akhir ini dia kerap tidur menjelang pagi demi menunggu telepon dari Kahfi.
Maklum, hubungannya dengan Kahfi kan seringnya LDR beda zona waktu, jadi ya terkadang Achi harus menunggu si Kapten itu menghubunginya setelah landing sampai dini hari.
Padahal mah Kahfi nya sendiri juga sudah sering mengoceh dan melarang Achi begadang untuk menunggunya menghubungi, tapi tetap saja.... Memang dasarnya Achi yang bandel.
Kedua matanya mulai terasa berat, pertanda kalau obat yang tadi di minumnya sudah mulai bekerja. Dan tidak perlu menunggu lama, suara dengkuran halus mulai terdengar seiring dengan Achi yang terlelap menuju ke alam mimpi.
°
°
°
°
°
Entah sudah berapa lama Achi tertidur, tapi saat dia terbangun, suara nyaring ponselnya adalah hal pertama yang ia dengar.
Tanpa melihat id penelepon yang tertera, Achi langsung menggeser lambang berwarna hijau dan meletakkan ponsel itu di telinganya.
"Halo, Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam. Chi?" Sebuah senyum tersungging di kedua sudut bibirnya saat mengenali si pemilik suara husky yang baru saja menjawab salamnya itu, siapa lagi kalau bukan Kahfi.
"Iya Mas. Ini aku."
"Kamu kenapa? Kok suaranya sengau begitu?" Tanya Kahfi khawatir.
"Kena flu, biasa... Uhuk!" Achi menutup mulutnya karena tiba-tiba terbatuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me&You ✓
Short StoryDua rasa sudah jadi satu. Dua keluarga sudah sama-sama setuju. Kira-kira, apakah masih ada halangan untuk mereka berdua ya? .................................................................