Dengan terengah-engah Achi membuka pintu utama kedai. Padahal ya, dia hanya berjalan sejauh dua blok, tapi rasanya seperti habis lari maraton sepuluh kilo. Sampai dikedai, Achi di sambut dengan tatapan heran sang ibu.
"Kok kesini dek? Ini kan jadwal libur kamu?"
Iya, iya. Achi tau dia salah karena sudah berbohong dengan mengatakan pada Kahfi kalau dia menjaga kedai seperti biasa hari ini. Tapi benar deh, dia tadi spontan saja menjawab seperti itu. Tidak ada maksud berbohong kok, sungguh deh.
Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, Achi justru celingukan dan balik bertanya, "Belum ada yang dateng nyariin aku kan Ma?"
Nurlita ikut menolehkan lehernya, mengedarkan pandangan ke seisi kedai yang cukup lengang malam ini.
"Nggak ada yang nyariin kamu tuh."
Achi menghela nafas lega mendengar jawaban sang ibu. Dia buru-buru masuk ke dalam bilik kasir dan berdiri di sebelahnya.
"Mama di dapur aja gih, atau di atas istirahat juga nggak apa-apa. Biar aku yang jagain di sini." Ucapnya sambil menggelayut di lengan sang ibu.
Mendengar permintaan tidak biasa yang di lontarkan bungsunya, Nurlita mengerutkan kening, "tumben, biasanya kalau libur nggak mau di ganggu."
Dengan gerakan cepat Achi menuntun Nurlita menuju ruang istirahat pribadinya. Di depan pintu gadis itu tersenyum manis pada sang ibu sambil berkata, "udah nggak apa-apa. Kasihan Mama pasti capek kan dari tadi pagi? Lagian Achi bosen di rumah sendirian. Jadi Mama istirahat aja, ya ya?"
Meski sebenarnya masih merasa curiga, toh pada akhirnya Nurlita mengikuti kemauan si bungsu dan masuk ke ruangannya.
Lumayan, istirahat sebentar. Pikirnya.
Setelah 'mengistirahatkan' sang ibu, Achi kembali ke bilik kasirnya dan menunggu seseorang yang sejak tadi di tunggunya. Senyuman benar-benar tidak lepas dari bibirnya. Dia bahkan beberapa kali mengecek penampilannya lewat cermin kecil yang sengaja di simpannya di laci. Setidaknya, meskipun Achi tidak pandai berdandan tapi dia selalu memastikan penampilannya rapi.
Bunyi lonceng di pintu kedai membuat achi refleks menolehkan kepalanya. Senyuman yang sedari tadi di umbarnya kini ia tahan sebisa mungkin.
Calm down Achi... Calm down.
Benar saja, laki-laki itu datang. Kahfi datang.
Lelaki itu malam ini terlihat lebih santai dengan setelan kaus dan sweater rajut berwarna cokelat yang entah kenapa sangat cocok di tubuhnya. Kakinya terbungkus celana panjang yang berwarna senada dengan sweaternya. Senyuman kecil menghiasi wajahnya saat matanya tanpa sengaja bertemu pandang dengan Achi yang duduk di balik bilik kasirnya.
Dia tidak tau saja kalau di balik meja kasir itu kedua lutut Achi sudah gemetar.
"Hai." Sapanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me&You ✓
ContoDua rasa sudah jadi satu. Dua keluarga sudah sama-sama setuju. Kira-kira, apakah masih ada halangan untuk mereka berdua ya? .................................................................