That's What Friends Are For

95 23 3
                                    

Yaya's Thought

Hai, ini gue Yaya.

Bukan, gue bukan berniat take over cerita ini dan mengubahnya menjadi kisah gue kok. Tenang aja, gue masih tau diri dan sayang sama Achi.

Anyway, manusia bernama Achi itu gue lihat-lihat kayaknya lagi galau banget dua mingguan ini. Entah apa sebabnya, tapi yang pasti melihat manusia yang biasanya kayak kelebihan gula dan gak bisa diem itu tiba-tiba jadi pendiam tuh aneh banget.

Awalnya gue nggak ngeh sih, tapi waktu si Nina ngomong ke gue, baru deh gue nyadar kalo Achi keliatan beda. Belakangan dia jadi jarang muncul di grup chat, terus sibuk terus di kedai, dan jadi jarang ngumpul sama kita.

Apa dia berantem ya sama si Kahfi?

Berhubung dua hari ini dia libur, akhirnya gue dan Nina memutuskan untuk menyambangi rumahnya. Jam segini sih harusnya nggak ada orang ya, karena kan Tante Nurlita lagi stand by di kedai.

"Chi?"

Kalian harus tau sih. Seumur-umur gue kenal sama yang namanya Asri Aisyah, belum pernah gue liat dia sekacau ini. Muka bengep, mata panda, belum lagi kondisi kamar yang... Dah lah, sedih banget kalo gue ceritain.

"Lo kenapa?" Si Nina langsung duduk di tepian ranjang dan langsung meluk Achi dari samping. Gue yakin sih, dia juga sama speechless nya kayak gue ngeliat keadaan yang tidak biasa ini.

Baru aja duduk di sisi kirinya, suara tangisnya terdengar lagi. Buru-buru gue ambil tissue yang tergeletak di lantai dan gue sodorin ke dia.

"Kenapa sih? Kok lo sampai begini tuh ada apa?" Gue dan Nina saling pandang selagi dia mengelap ingusnya.

"Kahfi?" Tebak Nina. Achi mengangguk pelan.

"Ngapain dia? Main sama cewek lain?"

Nyaris aja gue mukul tangan Nina karena mulut embernya itu. Untung aja si Achi nggak tambah kenceng nangisnya.

"Terus?"

"Kayaknya dia udah gak mau sama gue."

"Hah?!" Kali ini gue yang terkejut.

Ralat. Super duper terkejut karena... hei, dua manusia ter'bucin' yang pernah gue kenal, putus?

"Kok bisa?" Kali ini Nina yang angkat bicara, suaranya lebih tenang daripada gue tadi.

Daan, selanjutnya mengalir lah cerita Achi tentang kejadian itu.

"Lo kenapa nggak cerita sama dia soal alasan lo yang sebenarnya?" Gue nanya sambil senderan di kepala ranjang, sementara Achi nyenderin kepalanya di bahu gue.

Dari ceritanya tadi sih gue bisa simpulkan kalau dia baru aja nolak lamaran Kahfi dan berakhir dengan menghilangnya laki-laki itu.

"Gue pikir awalnya dia cuma candaan aja kayak biasanya Ya, dia tuh kan emang sering banget ngajakin gue nikah." Ungkapnya.

"Tapi ternyata yang kali ini serius?" Tanya Nina yang duduk di sebelah Achi.

Gue bisa ngerasain anggukan dari kepalanya, "dia ngilang gitu aja kan semingguan kemarin. Gue kira dia emang lagi tugas dan lupa ngasih kabar sama gue, nggak taunya dia ngediemin gue beneran dong. Gue tungguin nggak ada kabar sampai sekarang, gue tanya sama adek dan bundanya juga mereka bilang Kahfi ngelarang mereka buat ngasih tau. Bodoh banget gak sih gue?"

Duh Chi, untung suasananya lagi galau gini ya... Kalo nggak, udah gue sentil tuh jidat.

"Ya udah sekarang chat aja dia, gue yakin dia pasti baca kok. Lo juga gak di blokir kan sama dia."

"Gue.... Takut. Kalau dia masih marah sama gue gimana? Chat gue yang terakhir aja gak di balas."

Gue bisa denger helaan nafas kasar dari mulut Nina, gue yakin deh ini anak pasti udah gemes banget pengen ngomel-ngomel.

Nasib emang punya temen kayak Achi tuh, udah mah anaknya overthinking-an, serba gak enakan... Nguras emosi deh pokoknya.

Untung sayang.

"Gimana lo bisa tau dia marah atau nggak kalau cuma nebak-nebak doang sih Chi??? Lo harus jelasin ke dia." Nada suara Nina udah mulai naik.

Menegakkan tubuhnya, Achi menatap gue dan Nina bergantian.

"Kalau dia nggak bisa ngerti gimana ☹️?" Achi nanya dengan mata berkaca-kaca.

Ampun deh, gak tega banget gue kalo dia udah mau mewek gini.

"Chi, dengerin gue."

"Kahfi love you that much, dia sayang banget sama lo tau gak? Kalo nggak, ngapain dia bela-belain terbang dari mana tau cuma buat nemenin lo yang lagi sakit tempo hari itu."

Mendengar ucapan gue, Achi diam. Dia nunduk dan mainin bantal yang ada di pangkuannya.

"Gue yakin dia pasti mau ngerti. Dia lebih dewasa dari kita, remember?" Tambah gue lagi.

"Lagian dia ngelamar lo bukan berarti lo langsung di seret ke KUA besok kali, Chi." Sahut Nina yang langsung gue hadiahi dengan pelototan galak.

"Chi," gue angkat dagunya, "kalau emang lo sayang sama dia, lo mau sama-sama terus sama dia, then fight for him. Sama kayak dia yang memperjuangkan lo buat dirinya waktu itu."

Perlahan, gue bisa lihat senyuman tersungging di bibirnya Achi.

"Thanks girls, gue nggak tau gimana jadinya kalau nggak ada kalian berdua." Ucapnya sambil menatap gue dan Nina bergantian.

Bersama-sama dengan Nina, gue merangkul Achi hingga si yang paling kecil di antara kami bertiga itu terhimpit di tengah-tengah.

"Lain kali, apapun kesulitan yang lo hadapi, cerita sama kita ya? Kita mungkin gak bisa bantu banyak, tapi setidaknya kita bisa jadi pendengar yang baik buat lo. Okey?"

Me&You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang