Langit subuh yang berpadu dengan dinginnya udara kota Bogor menyapa setiap jengkal permukaan kulit Kahfi yang berdiri menatap pemandangan pagi dari balkon hotel tempatnya menginap.
Lelaki itu sudah terbangun sejak jam empat tadi, matanya enggan terpejam semalaman. Lelahnya setelah perjalanan dari Jakarta sore kemarin menghilang entah kemana, terganti dengan rasa gugup menunggu momen bahagianya tiba.
"Ngapain Fi?" Kahfi menoleh ke arah Rama yang baru saja bangun. Masih dengan muka bantalnya, lelaki itu menghampiri Kahfi.
Berkat ide gila Rama, ia bersama Kahfi dan kelima temannya yang lain menginap di satu kamar yang sama, nostalgia sebelum melepas masa lajang katanya.
Kedua keluarga juga sepakat memilih hotel yang sama karena besok putra bapak Anggara dan ibu Laila itu akan mempersunting sang pacar yang akhirnya mengiyakan ajakannya untuk menikah walaupun harus diterjang ombak dan badai dulu sebelumnya.
"Nggak bisa tidur gue bang. Hehe."
"Ckck, dikit lagi bro. Gue juga dulu sama kayak gini sih gugupnya." Rama ikut terkekeh sambil menepuk pundak Kahfi.
"Iya, dikit lagi." Balas Kahfi sambil tersenyum kecil.
"Gue udah bilang belum Kaf?"
"Hm?"
"Makasih udah kembali buat adek gue. Meskipun dia bukan adik kandung gue, tapi gue sayang ke dia sama kayak gue menyayangi adik gue sendiri. Gue tau dia dari kecil Kaf, dia banyak ditempa hal-hal berat dan terpaksa jadi dewasa sebelum waktunya. Gue pengen dia bahagia, dan gue bersyukur bahagianya dia itu elo. Jagain adik gue ya Kaf." Nyatanya Rama yang di anggap pelawak itu bisa seserius ini jika sudah menyangkut kepentingan orang-orang yang ia sayangi.
"Pasti bang. Makasih juga karena lo tetap percaya dan menyadarkan gue disaat gue sibuk sama jalan pikiran gue sendiri." Kahfi menjeda ucapannya, "lo bisa percayakan Achi sama gue sekarang, insyaallah gue siap."
"Harus. Karena kalo sampai Achi kenapa-kenapa bukan cuma Rama, tapi lo juga harus berhadapan sama gue Fi." Kahfi menoleh dan mendapati Dion berdiri tak jauh di belakangnya.
Kahfi mengangguk. Kalau omongan Rama bisa saja dia anggap sebagai guyonan, tidak dengan Dion, lelaki itu akan selalu serius dengan kata-katanya. Jadi lebih baik dia juga harus menepati janjinya pada dua calon kakak iparnya itu daripada harus berhadapan dengan keduanya.
°
°
°
°
°Pukul sepuluh lewat lima belas menit, bertempat di kota hujan Bogor kini Kahfi tengah siap menjabat tangan penghulu yang menjadi wali nikah bagi Achi.
Ada sedikit haru di benaknya karena tidak bisa secara langsung menjabat tangan ayah kandung wanitanya. Tapi tentu saja jauh-jauh hari sebelum ini Kahfi sudah lebih dulu datang berkunjung ke pusaranya dan meminta restu untuk meminang putri bungsunya.
Memang benar kata Jun, momen ijab qobul adalah momen paling menegangkan dalam hidup seorang pria. Kahfi ingat dengan jelas lelaki itu mengatakannya beberapa bulan sesaat setelah akad nikahnya selesai dilaksanakan. Kahfi cukup salut, karena si playboy cap ayam jago yang dia anggap akan jadi yang terakhir menikah itu justru jadi yang pertama melepas masa lajangnya.
Kahfi menghembuskan nafas berkali-kali guna menghilangkan rasa gugupnya.
"Baik, nak Kahfi. Saya mulai, siap?"
Sambil mengucapkan basmalah dalam hatinya, Kahfi mengangguk mantap.
"Siap pak."
"Bismillahirrahmanirrahim, Saya nikahkan dan kawinkan engkau saudara Kahfi dengan Astri Aisyah dengan mas kawin berupa perhiasan emas seberat 26 gram dibayar tunai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Me&You ✓
Kısa HikayeDua rasa sudah jadi satu. Dua keluarga sudah sama-sama setuju. Kira-kira, apakah masih ada halangan untuk mereka berdua ya? .................................................................