Teman Hidup

94 24 0
                                    

Kapalnya sudah hampir berlayar nih... Sudah pesan tiket belum??






••••

Senyuman tidak lepas dari bibir Achi sejak ia terbangun tadi.

"Aih... Sumringah banget sih calon manten..."

Masih dengan senyum di bibirnya Achi menepuk sisi tempat tidurnya, "eh udah dateng lo. Sini Ya, duduk."

Yang barusan menyapa adalah Yaya, gadis itu hari ini secara khusus diminta datang lebih awal oleh Achi untuk mendandaninya. Masih ingat kan kalau Achi tidak bisa berdandan?

"Gue kira lo belom bangun loh Chi, biasanya kan abis sholat subuh lo molor lagi." Celetuk Yaya sambil duduk di sebelah Achi.

"Enak aja lo. Gue udah sebulan ini trial bangun pagi sama Mama tau, udah gak di bolehin bangun siang."

Yaya terkekeh, "latihan jadi calon istri ya?"

Achi tidak menanggapi ucapan Yaya, sebagai gantinya dia hanya tersenyum.

"Gue nggak nyangka kalo gue bakalan jadi beneran sama Kahfi."

"Sama, gue juga." Sahut Yaya, "kalo inget yang kemarin itu mah deuh.... Gue masih pengen mukul kepalanya aja rasanya, untungnya dia balik."

Achi mengangguk mendengar ucapan Yaya, mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu, "iya, untungnya dia balik."

"Gue seneng akhirnya lo menemukan rumah tempat lo pulang." Ucap Yaya tulus seraya menggenggam erat kedua tangan Achi, sebuah senyuman hangat tersungging di bibirnya.

"Gue yakin kalo si Nina ada di sini dia juga bakalan bilang hal yang sama." Yaya mengusap sudut matanya yang mulai berkaca-kaca, "sayangnya dia lagi sibuk mabok sambil nyiumin minyak kayu putih di Aussie sana.."

Kedua sahabat itu tertawa bersama.

"Thank you Ya. Tanpa lo, tanpa Nina... Tanpa kalian mungkin gue gak akan kuat dan bisa sampai di titik ini. Thank you ya,"

Yaya menggelengkan kepalanya, "No, itu udah jadi tugas gue dan Nina. Lo yang paling sabar ngadepin kita berdua, jadi sebagai gantinya kita yang harus jadi tameng lo disaat lo sulit kayak kemarin. We'll never leave you behind."

Achi tersenyum kemudian meraih tubuh Yaya, "Aaaaa, gue sayang banget deh sama kalian!!!" Keduanya berpelukan sambil menggoyangkan badan ke kiri dan kanan.

Cklek!

"Heh! Malah pada peluk-pelukan kayak Teletubbies. Buruan mandi Achi, jam sepuluh Kahfi sama keluarganya jalan lho!" Lala yang muncul dari balik pintu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua gadis di hadapannya.

"Iya, iya... Ini mau mandi kok!"

"Buruan ih kamu tuh santai banget sih, nggak tau apa Mama udah ngerap dibawah...."










°
°
°
°
°
°
°













Achi's Thought

Hai, ini gue Achi.

Pagi ini gue terbangun di usia gue yang Alhamdulillah sudah tepat di angka 26. Sebuah angka yang katanya menjadi momok menakutkan bagi banyak orang, sebab katanya di usia-usia ini bakalan rawan terjadi quarter life crisis dimana lo mulai mempertanyakan tentang masa depan dan dihantui banyak ketakutan.

Apakah gue merasakannya? Oh iya jelas.

That fuc*ing quarter life crisis membuat gue nyaris kehilangan orang yang sangat menyayangi gue gara-gara ketakutan yang belum tentu akan terjadi.

Lalu apa gue berhasil melewatinya? Entahlah, gue juga belum tau.

Tapi yang jelas, gue mulai belajar untuk perlahan-lahan melepaskan ketakutan gue itu. Dan tentu saja, sebagai bonusnya Tuhan ngasih gue seseorang yang mau dengan sukarela menemani gue melewatinya sampai gue bebas dari ketakutan itu nanti.

Iya, hari ini tepat di usia gue yang ke 26, Mas Kahfi datang membawa keluarganya untuk melamar gue di hadapan seluruh keluarga.

"Jadi Bu, kedatangan kami kesini bermaksud untuk melamar nak Achi untuk menjadi istri dari anak kami, Kahfi." Suara Ayahnya Kahfi mulai terdengar.

Di sebelah gue Yaya menyenggol lengan gue sambil tersenyum dengan wajah jahilnya.

Duh Ya, lo gak tau aja gue pengen pingsan ini saking gugupnya.

"Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu sekeluarga sudah mau hadir jauh-jauh kesini. Terima kasih juga sudah mau menerima Achi. Anak saya itu bu, pak... Masih banyak kurang-kurangnya. Saya harap, dia nggak merepotkan dan bisa menjadi istri sekaligus menantu yang baik nantinya."

"Nggak kok Bu, Achi itu anak baik. Malah saya senang, karena Kahfi yang kerja melulu itu akhirnya menemukan jodohnya."

Entah apa yang terjadi diluar, setelah ucapan dari Bundanya Kahfi, ruangan mendadak sepi.

"Ma, Kahfi nggak mau muluk-muluk menjanjikan kebahagiaan seumur hidup untuk puteri Mama karena hidup pasti ada naik dan turunnya, senang dan sedihnya. Tapi Kahfi bisa pastikan, Kahfi bersedia menemani puteri Mama dan membimbingnya sampai maut memisahkan kami." Dari dalam gue bisa mendengar Mas Kahfi menjeda ucapannya, "jadi Ma, bolehkah saya menikahi puteri bungsu Mama?"

"Mama sudah merestui, bahkan saat pertama kali Kahfi datang kemari memperkenalkan diri. Tinggal bagaimana Achi nya saja.."

Gue yang berada di dalam kamar mbak Ri bersama dengan Yaya hanya bisa meremas ujung kebaya yang gue pakai. Gugup, deg-degan, mulas, semua rasanya bercampur jadi satu.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, mbak Ri tersenyum menghampiri gue.

"Ayo keluar, sudah ditunggu sama Kahfi."

Gue mengangguk kemudian berdiri sambil menghembuskan nafas beberapa kali untuk meredakan gugup. Mbak Ri dan Yaya mengapit gue berjalan keluar dari dalam kamar.

Gue bisa merasakan pandangan semua mata yang ada di ruang tamu. Duh, mana berani gue mengangkat wajah kalau begini caranya.

"Nah, itu dia sudah keluar bintang utamanya. Chi, Achi... Nengok sini dong." Suara Mas Rama yang hari ini bertindak sebagai pembawa acara membuat beberapa orang di ruangan tertawa, gue tau dia sengaja memanggil gue dengan nada bercanda begitu supaya gue tidak terlalu gugup.

"Nah coba Mas Kahfi, ditanya langsung saja ke calon istrinya... Mau nggak dia jadi nyonya Kahfi?"

Bismillah... Perlahan, gue beranikan diri mengangkat kepala. Dan yang pertama kali gue lihat adalah Mas Kahfi yang sedang memamerkan senyum kotaknya di seberang sana.

 Dan yang pertama kali gue lihat adalah Mas Kahfi yang sedang memamerkan senyum kotaknya di seberang sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Chi, nikah sama saya ya?"

Seperti tersihir, senyum kotak sederhana yang selalu jadi pemandangan favorit gue itu menular dan ikut membuat gue tersenyum.












"Iya Mas, aku mau."

Me&You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang