Chapter 1: Death of Mother

2.2K 184 7
                                    


1930

Asap gelap dan pekat membumbung hingga menyentuh langit, membuatnya semakin gelap dan mengerikan. Teriakan histeris mulai terdengar sampai membuat kedua telinganya terasa berdengung, ia tak mampu mendengarkan apa-apa. Wajahnya dipenuhi keringat, kedua matanya memandang ngeri dengan apa yang ia lihat, merah dan marah melahap habis rumahnya.

"Ibu..." Suaranya hampir tak terdengar. Tangannya yang gemetar menyentuh lengan ayahnya.

"Ibu terjebak."

 Ayahnya, seorang pria paruh baya dengan rambut yang ditumbuhi uban hanya terdiam seraya menatap nanar rumahnya, menatap api yang telah merenggut nyawa kekasih hatinya.

"Ayah." Suaranya masih terdengar lemah, namun kali ini diiringi oleh isak tangis. "Bagaimana dengan Ibu?"

Lagi-lagi tidak ada respon dari ayahnya, juga tidak ada perubahan dari ekspresi wajahnya. Anak lelaki itu melepaskan tangannya dari lengan ayahnya dan berjalan maju, mendekati rumahnya yang perlahan-lahan hancur dan menghitam. Di setiap langkah kakinya ia memanggil ibunya, berharap bahwa sosok cantik nan mungil itu keluar dari pintu rumahnya dengan keadaan selamat. Memanggil namanya dengan penuh kasih sayang seraya tersenyum kepadanya.

Donghyuck

Hatinya berdenyut sakit, bertanya-tanya apakah momen manis tersebut dapat ia rasakan lagi? Dan jawabannya adalah tidak.

"Tuan muda!" Seseorang menahan tubuhnya, sedikit lagi ia berhasil masuk ke dalam rumahnya.

"Lepaskan.." Ia sama sekali tak memiliki tenaga untuk memberontak. "Aku harus menjemput Ibu."

Air mata semakin deras membasahi wajahnya, "Lepaskan aku."

Namun tangan yang menahan pinggangnya tak kunjung menjauh, justru tubuhnya dibawa semakin menjauh dari pintu rumahnya. Ia hanya mampu menatap pintu tersebut dengan isak tangis yang tak kunjung mereda.

Hatinya hancur, jiwanya rusak. Mungkin takkan tersisa airmata untuk keluar, mungkin takkan ada ruang lagi di hatinya dan mungkin takkan ada kebahagiaan yang akan menyelimuti hidupnya.

"Maafkan aku, Ibu."

Kecelakaan tragis itu benar-benar merubah kehidupannya, dulunya ia adalah seorang anak laki-laki yang ceria, jahil dan suka tertawa. Semakin bertambahnya usia, ia semakin menarik diri dan melindungi jiwanya yang rapuh dengan tembok yang kokoh agar tidak ada siapapun yang mampu mendekatinya, bahkan tawa pun tak pernah muncul lagi di kehidupannya.

Jiwanya telah mati, begitu juga dengan jiwa ayahnya.

Seiring berjalannya waktu, lima tahun setelah tragedi tersebut terjadi, ayahnya mulai 'gila' dan akhirnya bersekutu dengan Jepang, sementara dirinya memilih untuk membuat tulisan-tulisan fiktif namun selalu menyenggol pemerintahan Jepang di negerinya. Sekarang ia tidak takut apapun, bahkan ketika ia menghabiskan waktunya di bar Carpe Diem yang telah lama dicurigai oleh pemerintah Jepang sebagai markas pemberontak.

"Ayahmu resmi berada di pihak Jepang, ia menjadi pengkhianat untuk negeri ini." Salah satu sahabat yang masih menjalin hubungan dengannya bersuara, memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti mereka berdua.

"Aku tidak peduli." Balasnya, tatapannya pada gelas kecil berisi bir tidak pernah terlepas. "Asal ia tidak menyentuh tulisan-tulisanku, aku tidak peduli."

"Kau harus peduli."

Donghyuck akhirnya mengalihkan pandangannya, ia menatap datar pada sahabatnya.

"Apa alasannya?"

"Mereka akan mencari cara untuk membunuhmu, tulisan-tulisanmu sangat provokatif. Dan ayahmu akan menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan dirimu, membuangmu dari garis hak warisnya." Jawab sahabatnya, ia tampak cemas.

"Aku tidak peduli dengan harta kekayaannya."

Sahabatnya menghela napas kesal, "Tapi mereka akan membunuhmu, cepat atau lambat. Apa kau tidak mendengar kabar bahwa penulis buku Im Taewan terbunuh di kediamannya?"

"Dengarkan aku, Lee Donghyuck. Kau harus peduli pada dirimu mulai sekarang, berhati-hatilah dalam menulis sesuatu. Nyawamu berharga."

Donghyuck menyeringai mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh sahabatnya.

"Lihat dirimu sendiri, Lee Jeno. Apa yang kau lakukan lebih berbahaya daripada apa yang kulakukan."

Raut wajah Jeno berubah, "Apa yang aku lakukan tidak melibatkan identitas asliku, Donghyuck."

"Mereka akan mengetahui identitasmu, cepat atau lambat." Donghyuck masih mempertahankan seringai di wajahnya.

"Brengsek." Maki Jeno seraya meneguk habis bir di gelasnya. Ia meletakkan gelasnya dengan kekuatan penuh hingga menimbulkan bunyi debam.

"Kehidupan kita sama, berbahaya. Jadi jangan menceramahiku." Donghyuck juga menghabiskan bir dari gelasnya. "Aku harus kembali, selamat malam."

Donghyuck memakai kembali topi dan jas hitamnya, ia melangkah keluar dari bar bernama Carpe Diem milik Jeno. Kaki jenjangnya melangkahi jalanan yang sudah sepi dan gelap karena minimnya cahaya, sebenarnya Donghyuck bisa saja menyewa becak untuk membawanya pulang ke rumah, namun ia lebih memilih untuk berjalan kaki karena ia suka dengan suasana sunyi seperti ini.

Suasana sunyi mampu menenangkan pikirannya, juga mampu memberikan dirinya ide untuk tulisan-tulisannya. Meskipun ide tersebut tidak pernah memiliki bagian yang mengandung kata bahagia, tidak pernah ada kata bahagia di tulisan-tulisannya. Semua berakhir dengan tragis, sama dengan kehidupannya.

Bunyi dari sepatu hitamnya menjadi satu-satunya suara di jalanan yang sunyi ini, namun tiba-tiba saja ia mendengarkan suara lirih dari gang yang sebentar lagi akan ia lewati. Langkah kaki Donghyuck terhenti tepat di gang gelap tersebut, ia menatap gang tersebut dan menemukan sesosok pria meringkuk di dekat tembok.

Sosok itu tidak menyadari kehadiran Donghyuck, ia masih sibuk mengikatkan sesuatu di lengan kanannya.

Sosok tersebut terluka.

Donghyuck tidak juga bergerak, ia hanya diam mengawasi sosok tersebut. Ketika sosok tersebut bangun dari posisinya dan membalikkan tubuhnya, mereka berdua saling berpandangan dalam gelap.

Kedua mata yang menggambarkan rasa sakit itu berubah menjadi terkejut, tangan kirinya langsung mengambil sesuatu yang ia sandarkan di tembok. Sebuah senapan laras panjang.

"Pergi." Wajahnya dilindungi oleh kain hitam, hanya memperlihatkan kedua matanya. "Aku tidak akan membunuhmu."

Donghyuck tidak memberikan respon apa-apa, ia segera memutus pandangan mereka dan berjalan pergi, melanjutkan langkahnya seakan-akan ia hanya melihat seekor kucing yang terluka. Saat ia mulai menjauhi gang tersebut, ia mendengar langkah kaki yang tertatih-tatih berjalan berlawanan arah darinya.

Aku tidak peduli.

Batinnya terus-menerus mengucapkan kalimat tersebut.

Aku tidak peduli.

Jalan yang Donghyuck lalui semakin menanjak, menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di kediamannya. Pepohonan mulai rimbun dan memenuhi sisi jalan, malam menjadi semakin sunyi dan mengerikan di lingkungan rumahnya. Rumah besar bertembok putih dan bertingkat dua mulai terlihat di matanya, membuat dadanya kembali terasa sesak.

Donghyuck, kau terlambat.

Suara manis ibunya terulang-ulang di benaknya, begitu juga dengan senyumannya. Sosok mungil tersebut akan menunggu di depan pintu rumahnya hingga Donghyuck sampai dan akan memeluk dirinya, penuh kasih sayang.

Aku merindukanmu.

Saat hari tragis itu terjadi, Donghyuck mengira ia takkan pernah lagi memiliki airmata untuk dikeluarkan, namun di sinilah ia sekarang dengan mata berkaca-kaca seraya memusatkan pandangannya pada pintu rumahnya. Ia masih memiliki banyak airmata untuk menangisi kepergian ibunya, menangisi kepergian jiwanya.

Kembali pulang dan membuka pintu menjadi hal yang sangat menyakitkan bagi Donghyuck, tidak akan ada lagi yang menyambutnya pulang, ia tidak memiliki kehangatan lagi. Hubungan dengan ayahnya menjadi semakin dingin, ayahnya sudah tidak menganggap dirinya ada.

Hidupnya sangat tragis.


TBC 

Romantic Generation | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang