Chapter 3: Memories

1K 152 2
                                    


Donghyuck benci tidur, ia sangat membencinya hingga mampu membuat Donghyuck menjaga matanya untuk terus terbuka. Bila ia terlelap beberapa menit, mimpi mengerikan itu akan langsung menghantuinya, membuatnya menangis di dalam tidurnya, maka dari itu ia memilih untuk terjaga meskipun hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan tubuhnya. Sejak ia kembali ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya, entah sudah berapa cangkir kopi ia minum untuk membantu terjaga sembari menuangkan ide-ide yang baru ia temukan di mesin ketiknya.

Cahaya matahari perlahan-lahan menyentuh lembut wajahnya dari jendelanya yang ia biarkan terbuka semalaman, pagi telah datang dan itu artinya untuk segera menghentikan pekerjaannya, mandi dan pergi dari rumah secepatnya. Pasalnya sang ayah akan terus berada di rumah bersama sesama pengkhianat dan orang-orang penting Jepang, di rumahnya sendiri pun banyak tentara Jepang yang berjaga.

Donghyuck merapikan kertas-kertas yang berisi tulisannya dan menyimpannya di laci meja, lalu ia menutup mesin ketiknya dengan kain hitam. Kedua kakinya melangkah dan berhenti di depan sebuah cermin panjang, wajahnya terlihat begitu lelah..namun ia lebih memilih untuk lelah daripada terbangun dari tidur dengan wajah penuh peluh dan airmata. Dengan kedua mata yang memandang pantulan dirinya sendiri, Donghyuck mulai melepaskan satu-persatu kancing kemeja putihnya.

"Tuan muda." Suara dari pelayannya muncul dari balik pintu kamarnya.

"Ada apa?"

"Saya ingin mengambil cangkir kosong." Jawabnya sopan.

Donghyuck melempar kemejanya ke lantai, "Masuklah."

Setelah mendengar izin darinya, pintu kamarnya terbuka dan muncullah pria tua ke dalam kamarnya. Pria tersebut membungkuk padanya lalu mengambil cangkir dan menaruhnya di atas nampan yang ia bawa.

"Apa anda membutuhkan sesuatu?" Tanyanya seraya mengambil kemeja Donghyuck yang tergeletak di lantai, ia menyampirkannya di lengan kanannya.

"Siapkan air hangat dan surat kabar hari ini."

"Baik, Tuan muda. Saya akan segera mempersiapkannya." Ucap pelayannya lalu membungkuk sekali lagi sebelum keluar dari kamarnya untuk menaruh cangkir bekas dan kemejanya untuk dibersihkan. Donghyuck tak kunjung mengalihkan pandangannya dari cermin, ia baru memutus pandangannya ketika ia mendengar pintu kamarnya tertutup.

Donghyuck menghela napas kemudian pergi ke atas tempat tidurnya, merebahkan tubuhnya di atas kasurnya yang lembut lalu menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya tengah melayang, mengembara ke seluruh kenangan yang ia simpan dengan baik, kenangannya bersama seseorang yang sangat ia cintai.


"Donghyuck, perhatikan langkahmu." Suara lembut dan manis itu menyentuh pendengarannya.

Donghyuck tertawa, "Aku sudah 15 tahun Ibu. Aku tidak akan jatuh hanya karena batu kerikil."

Ibunya tersenyum, namun ia mengeratkan genggamannya pada tangan kiri Donghyuck. Hari ini matahari bersinar sangat cerah, membuat Ibunya terlihat semakin cantik dengan hanbok berwarna hijau yang ia gunakan. Tidak, ia bersuara di dalam hati. Ibunya tetap terlihat cantik di dalam kondisi apapun, bahkan di musim hujan pun ia akan terlihat cantik dan bercahaya.

Danau mulai terlihat dalam pandangannya, tak sadar sebuah senyum manis kembali bertengger di wajah tampannya.

"Aku tidak sabar menemui kakek dan nenek." Ucap Donghyuck.

"Ibu juga."

Di seberang danau besar itu terdapat sebuah pulau kecil yang ditutupi oleh pepohonan besar nan rindang, di sanalah tempat tinggal nenek dan kakeknya. Untuk sampai ke sana mereka harus naik perahu berukuran kecil dan mendayung sendiri, dan kegiatan tersebut sangat mengasyikan bagi Donghyuck.

Romantic Generation | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang