12 - Pertanyaan Gus Faqih

837 170 40
                                    

Komentmu, semangatku
Hehee..

---------------------

"Tanyakan saja, Le! Apa yang ingin kamu tanyakan sama Nuri, mumpung masih di sini. Setelah itu baru istikhoro untuk memantapkan pilihan kamu. Ini masih taaruf, jangan merasa ndak enak kalau memang ndak cocok." Kyai Nawawi mengawali perbincangan di antara mereka saat semua keluarga berkumpul tanpa sekat apapun.

Gus Faqih menyimpul senyum tipis sambil mengangguk. Pandangannya masih tak beranjak dari deretan toples berisi kue-kue kering di depannya. Sementara gadis bernama Nuri di depannya sesekali mengangkat wajah, mencuri pandang pada Gus Faqih.

"Emh, bagaimana kalau Dek Nuri saja yang bertanya lebih dulu?" tawar Gus Faqih.

Semuanya ikut tersenyum. Mereka mengerti rasa canggung itu. Pandangan langsung mengarah pada Nuri yang malah mengulum senyum.

Kenapa harus dia yang lebih dulu bertanya? Jika saat ini dia hanya berdua saja dengan Gus Faqih, mungkin dia bisa bertanya banyak hal padanya. Tapi dengan keberadaan semua keluarga di sana, mustahil dia bisa bertanya sedetail itu. Nuri menggeleng, ia tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Aduh, piye? Kok pas sama-sama malu-malu kayak gini?" Kyai Maksum menepuk pundak Gus Faqih.

"Abah saja yang Tanya!" pinta Nuri.

"Loh, kok Abah? Yang mau nikah siapa, toh?"

Tawa kecil terdengar memenuhi ruangan mendengar jawaban penolakan dari Kyai Makruf.

"Ndak usah berat-berat pertanyaannya! Kan wes ngerti agama semua," timpal Kyai Nawawi.

Lagi-lagi ucapan itu mengundang tawa kecil di antara mereka. Nuri dan Gus Faqih menyerah. Wajah mereka sama-sama menghangat sebelum rona merah mulai menjalar di sana.

***

Laila menatap payung pemberian Gus Faqih yang masih belum dia kembalikan. Humairo tengah bermain bersama boneka di sampingnya. Sementara hujan mulai kembali menyapa bumi.

Bau tanah yang terkena hujan sudah tak lagi tercium. Mungkin karena ini bukan lagi hujan pertama, makanya tanah tak lagi menyambut dengan aromanya. Tak ada angin, namun rasa dingin mulai menyergap perlahan.

Apa pertemuan mereka lancar? Apa guse bisa langsung jatuh cinta pada wanita itu? Aah, pasti langsung jatuh hati. Wanita itu kan cantik. Batin Laila terus saja bertanya-tanya. Dia benar-benar penasaran apa yang sedang Gus Faqih lakukan sekarang.

***

"Apa yang akan menjadi larangan jenengan untuk saya jika kita berjodoh?"

Gus Faqih memilih untuk diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Beberapa kali dia menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Tidak ada." Jawab Gus Faqih dengan tegas.

Bulu mata lentik itu terangkat, menatap laki-laki yang masih terus saja menundukkan wajah.

"Kenapa bisa tidak ada?" Tanya Nuri lagi.

"Karena setiap hal bisa dibicarakan terlebih dahulu. Dan saya percaya, seseorang yang sudah dibekali ilmu agama, pasti sudah lebih mengerti apa kewajiban suami istri yang harus terpenuhi saat mereka menikah, sekaligus batasan-batasan yang harus mereka taati."

Sudut bibir Nuri tertarik. Begitu juga dengan keluarga di sampingnya.

"Giliran antum!" Kali ini Haris –Kakak pertama Nuri yang bersuara seraya menunjuk Gus Faqih.

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang