Laila nampak sangat letih. Kehadiran keluarga jauhnya di rumah kecil itu sedikit melipur dukanya. Mbak Tun juga sudah datang pagi sekali. Bahkan Gus Faqih ikut mengantarnya.
Kali ini Gus Faqih hanya bisa menatap Laila dari jauh tanpa bisa menyapanya. Dia juga meminta Mbak Tun agar tidak memberi tahu Laila bahwa dia ikut ke sana. Melihat gadis yang kini sudah mulai sibuk dengan para tamunya itu, ia sedikit lega. Setidaknya Laila tidak terlihat serapuh kemarin.
Pria berkulit bersih itu menyentuh dadanya yang berdebar. Ada gumaman kecil di sana, sementara netranya tak beranjak dari gadis berpasmina hitam bernama Laila. Untuk pertama kalinya, aku ingin menggenggam wanita ini begitu erat. Aku ingin menjadi bahu untuknya. Ingin menjadi sebab untuk senyum dan bahagianya. Tapi untuk pertama kalinya pula, aku tak ingin dia tahu perasaanku karena takut dia akan pergi menjauh.
"Ini lanjut ke mana, Gus?" Pertanyaan Abdul membuyarkan gumamannya.
"Pulang, Kang."
"Ke Al-Falah atau At-Taufiq?"
"Al-Falah."
"Nggeh."
Abdul menstarter mobil X-Pander putih itu. Setelah melepas hand rem, mobil itu pun perlahan-lahan bergerak keluar gang. Menjauh dari rumah Laila.
***
"Salah satu tanda jodoh itu adalah tidak adanya keragu-raguan dari dua orang. Jadi kalau setelah istikhoro masih ada ragu, kemungkinan ya bukan jodoh."
"Tapi, Kang, bukannya istikhoro berupa mimpi?"
"Ndak selalu, Bib! Mimpi itu belum tentu bener. Kalau kamu terus menerus mikirin calon kamu ya bisa kebawa mimpi juga. Istikhoro itu mencenderungkan hati. Dari yang semula ragu, bisa jadi yakin. Itu fungsinya istikhoro."
Gus Faqih ikut menyimak percakapan dua sahabatnya itu.
"Oya, Kang Arif sama Abib kapan rencana balik ke Mesir?"
Arif menyulut batang rokok keduanya. "Kalau aku mungkin minggu depan, ndak tau Abib," jawabnya kemudian setelah menghirup batang tembakau itu.
"Ya ikut Kang Arif lah. Kan sebagian biaya hidup nebeng Kang Arif. Hahaha ...."
Ketiganya tertawa kecil. Tiga cangkir kopi nampak mengepul di depan mereka. Berdampingan dengan asbak penuh puntung rokok.
"Kamu sendiri, gimana?"
"Ndak tau, Kang. Masih mau ngabdi sama orang tua dulu."
"Ngabdi sama orang tua itu ya menikah."
Lagi-lagi tawa kecil terdengar. Pria memang tidak terlalu suka mengorek hal yang sudah mereka tahu kabarnya. Pantang bagi mereka untuk masuk terlalu dalam pada urusan mereka masing-masing. Kecuali mereka bersedia untuk bercerita lebih dulu.
***
Semalam adalah malam ke tujuh Mbah Pakmi meninggal. Tamu yang datang melayat juga semakin banyak. Nyai Hasanah pun turut hadir kembali. Sayang, orang yang ditunggu Laila tidak ikut bersamanya.
Pagi ini kerabat jauh Laila sudah banyak yang bersiap-siap untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing. Sebagian ada yang sudah pulang setelah pelaksanaan tahlil semalam. Suasana rumah mulai terasa sepi.
Laila tengah melipat baju di dalam kamar saat Mbak Tun menghampiri. Ia membawa sepiring kacang rebus dan beberapa potong kue lemper yang masih belum terbungkus. "Nih, sarapan!" ujarnya sambil meletakkan nampan di atas nakas.
"Makasih, Mbak! Repot-repot, loh!"
"Haha, repot itu kalau di rumah orang lain. Ini di rumah sendiri kok malah bilang repot."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...