“Kita ke Banyuwanginya lusa saja, yo, Le.”
Nyai Hasanah membuka percakapan saat mereka dalam perjalanan pulang menuju pesantren. Gus Faqih yang berada di samping kemudi hanya tersenyum.
“Lah, kok malah senyum, toh? Piye?”
“Kan belum beli apapun buat dibawa ke sana, Mbahti.”
“Loh, ke sana itu buat ta’arufan. Bukannya mau lamaran. Ya bawa sekadarnya saja dulu, oleh-oleh. Pikirannya wes mau lamaran ae, Le!”
Nyai Hasanah tertawa lirih sambil menatap Gus Faqih yang makin tertawa mendengar ucapan neneknya.
“Kamu ndak usah pulang, biar orang tuamu yang ke sini. Berangkatnya bareng dari sini.”
Nyai Hasanah menambahkan.
“Enggeh,” jawab Gus Faqih sambil mengangguk.
Lalu bagaimana dengan Laila yang hanya bisa berulang kali melempar pandangan ke jalan raya. Berfikir untuk menyudahi pikirannya saat mendengar pembicaraan mereka.
Namun tetap saja, harapan yang sudah terlanjur ada dalam hatinya, membutuhkan waktu untuk bisa lebur kembali bersama hujan yang mulai turun lagi. membentuk beberapa titik di kaca mobil. Menyisakan sisa embun yang menguap di dalam mobil.
****
Abdul menurunkan beberapa barang dari bagasi mobil. Laila juga turut membantu membawa barang-barang itu masuk ke dhalem. Sementara Gus Faqih diminta Nyai Hasanah untuk menggendong Humairo.
Tas kresek berisi baju kotor Gus Faqih sengaja Laila taruh di samping dhalem. Rencananya dia yang akan membantu mencucikan besok. Karena walau bagaimanapun, baju itu kotor karena Gus Faqih berusaha untuk melindunginya.
Gus Faqih juga sepertinya lupa akan baju kotornya. Ia lantas langsung rebah di salah satu kamar kosong yang sudah biasa di tempatinya dulu. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Membawa ingatannya pada kisah beberapa bulan yang lalu.
Flashback On_
Undangan di tangannya direbut oleh beberapa orang pemuda lain yang bersamanya. Mereka terkejut saat membaca nama yang tertera di undangan berwarna perak itu. seketika tawa yang tadinya bermaksud untuk menggoda Gus Faqih, menghilang bersamaan dengan tatapan heran mereka padanya.
Gus Faqih mengurai senyum, lalu duduk menyesap kopi di balkon rumah susunnya. Tiga pemuda yang tadi merebut undangan ikut duduk bersila di sampingnya. Menuang kopi hitam dari termos ke dalam gelas mereka masing-masing. Salah satu di antara ketiganya mulai mengeluarkan rokok berwarna hitam merah dari sakunya.
“Kamu gimana?” tanya pemuda berkumis tipis yang biasa dipanggil Abib itu. Nama panjangnya Habiburrahman, hanya saja teman-temannya lebih suka memanggilnya Abib, termasuk Gus Faqih juga.
Dua pemuda lainnya ikut menunggu jawaban Gus Faqih sambil menghirup rokok yang sudah tersulut itu. Gus Faqih kembali tersenyum lalu mengedar pandangannya lebih jauh ke depannya. Menikmati sudut kota Mesir dengan langitnya yang memerah.
Jika Gus Faqih adalah orang yang sama dengan beberapa tahun yang lalu, tentu ia akan ikut menyulut rokok dan menikmati setiap asap yang bisa ia keluarkan dengan bentuk berbeda-beda dari bibirnya. Namun, entah kenapa. Ucapan Sarah waktu itu mampu membuatnya berhenti menyentuh tembakau itu seketika.
“Kamu mau hadir?” tanya Salim.
Teman Gus Faqih lainnya. Ia memiliki kulit yang paling hitam diantara mereka berempat. Dengan rambut kriting halus yang tak pernah ia biarkan panjang di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...