38 - Air mata wanita

745 178 19
                                    

Berkali-kali Laila mengulang ayat yang harus dihafalnya untuk menambah setorannya besok. Namun kali ini ayat itu terasa sangat berat untuknya. Padahal biasanya dia hanya butuh mengulang ayat maksimal tujuh kali untuk bisa menghafal. Sudah bisa dipastikan ini karena kejadian tadi sore.

Ucapan Gus Faqih dan juga Nyai Hasanah bolak-balik di kepalanya. Selucu itukah dirinya hingga pria yang akhir-akhir ini mulai sering hadir di pikirannya itu bercanda dengan pernikahan? Keterlaluan.

Mushaf di tangannya ia tutupkan ke wajahnya. Menyembunyikan helaan nafas yang berkali-kali keluar dari mulutnya. Matanya memanas, mengingat kembali almarhumah si mbah.

"Allah ...," lirihnya.

Simpuhnya berubah. Gadis itu menekuk lututnya, lalu membenamkan wajah di antaranya. Mushaf di tangannya bergerak, mengikuti irama naik turun bahunya.

Tidak ada satu pun orang yang bisa kujadikan tempat untuk bercerita, Ya Allah. Kini aku benar-benar hanya punya Engkau. Maka tolong, kuatkan aku untuk bisa terus berdiri di jalanku. Tanpa harus mendapatkan belas kasihan orang lain. Batin Laila menjerit sementara air matanya mengalir deras. Ia benar-benar merindukan Mbah Pakmi.

"Lel!"

Sentuhan hangat di pundak Laila meredam tangisnya sejenak. Sapaan khas itu hanya dari satu orang. Ketua kamar Laila yang bernama Siti.

Gadis Madura itu terbiasa melaksanakan sholat hajat sebelum tidur. Dia tidak bisa melaksanakan sholat di kamarnya jika sudah jam segitu. Karena kebanyakan santri sudah pada terlelap dengan posisi-posisi aneh mereka.

Dia juga baru saja datang dari rapat pesantren. Seharusnya sholat hajat itu sudah selesai dua jam yang lalu, sebelum masuk waktu tidur pesantren tiba. Jalan satu-satunya ya harus ke musholla. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat Laila bersender pada salah satu tiang musholla selarut itu. Sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.

Kabar meninggalnya nenek Laila sudah dia dengar. Makanya saat mendengar isakan Laila, dia juga menyimpulkan mungkin Laila tengah merindukan neneknya. Di saat seperti itu, sudah pasti Laila akan butuh teman untuk berbagi.

"Kamu ndak pa-pa?" tanyanya saat melihat gadis di depannya mulai mengangkat kepala.

Laila mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata. Lalu berusaha untuk menyungging senyum pada Siti.

"Kamu kenapa gelap-gelapan di sini? Bukannya istirahat. Kangen mbah, ya?"

Laila memang tidak tidur di asrama yang sama dengan Siti. Para khadimah mempunyai kamar sendiri yang berada dekat dengan dhalem. Tiba-tiba rasa sesak lagi-lagi menyeruak di dada Laila mendapat pertanyaan begitu dari Siti.

Kini Laila mengerti, kenapa anak kecil akan tambah jadi menangis saat ditanya kenapa. Sesuatu yang banyak dianggap aleman sama orang dewasa, nyatanya adalah sifat manusiawi yang dimiliki oleh setiap orang. Begitulah Laila kini. Seolah semuanya kembali menimbun kepalanya. Rasa kehilangan si mbah, candaan Gus Faqih, ucapan Nyai Hasanah, harapan-harapannya dan ayat yang tak kunjung bisa dia hafal.

Perlahan, raut wajah yang semula terbingkai senyum akhirnya kembali bersedih. Kemudian memecah kesunyian dengan isaknya. Dengan cepat Siti memeluk Laila yang mulai menangis lagi, mengelus lembut punggung Laila. Berharap agar gadis itu sedikit lebih tenang.

Laila menggigit bibirnya dengan keras. Berusaha menahan isaknya agar tidak semakin keras. Ada rasa sakit yang mendalam di hatinya mengingat setiap perlakuan Gus Faqih.

Dia sadar, mungkin memang hanya dia yang berharap. Perasaannya hanya sepihak saja. Lalu kenapa dia harus merasa sesakit ini. Padahal pria itu memang tidak pernah menjajikan apapun padanya.

***

"Kenapa Laila?"

"Dalem, Mbah Kung?"

"Kenapa mau menikah dengan Laila?"

Gus Faqih menelan salivanya. Pertanyaan tanpa basa-basi dari Kyai Maksum cukup membuatnya terkejut. Tadi saat dirinya sibuk diceramahin oleh mbahtinya, lelaki sepuh itu tak banyak bicara. Gus Faqih pikir, mbah kungnya mungkin juga setuju dengan penuturannya. Tapi nyatanya tidak begitu. Kyai Maksum masih bertanya hal yang sama dengan pertanyaan Nyai Hasanah.

"Jawab! Laki-laki yang bilang siap menikah, harusnya bisa jawab pertanyaan sepele begini."

Gus Faqih bingung harus menjawab apa. Hatinya seolah condong pada Laila, tapi untuk alasan, dia tidak tahu kenapa. Dia hanya merasa ingin menjadi pelindung bagi gadis itu. Menjadi seseorang yang bisa Laila andalkan. Serta bisa menjadi penghilang sepi dari kesendirian Laila.

Jika dia mengatakan karena cinta, sepertinya perasaannya belum sedalam itu. Debar di dadanya memang ada, hanya saja tak seperti saat dia tengah mencuri pandang pada Sarah dahulu. Namun, keinginan untuk membersamai Laila begitu amat besar.

Jika itu dinamakan rasa kasihan, tidak juga. Karena dia yakin, Laila tak serapuh itu untuk dikasihani. Laila juga wanita yang cukup cerdas untuk menjalani hidup ini sendiri. Tapi, entahlah. Hatinya juga tidak bersepakat dengan definisi rasa itu.

Kyai Maksum mengulas senyum saat melihat wajah bingung cucunya. Mata teduhnya beralih pada hamparan bintang di atas sana. Warna hitam di langit menambah pesona kilau bintang itu sendiri. Itulah hebatnya malam, dia mampu menjadikan yang lain lebih indah dengan gelapnya. Perannya sama dengan lilin, hanya saja berbeda cara. Jika lilin menerangi kegelapan dengan mengorbankan dirinya, sedang malam memperindah yang lain dengan menguatkan warnah gelap di dirinya.

"Menikah tanpa adanya perasaan pun bisa, Le. Begitu juga dengan perasaan tanpa alasan. Dan rasa kasihan adalah salah satu perasaan tanpa alasan itu."

Gus Faqih ikut mendongakkan wajah ke arah pandang Kyai Maksum. Ada helaan nafas pelan dari kyai sepuh itu yang membuat Gus Faqih kembali menundukkan wajah. Mungkinkah dia juga bersalah kali ini di depan mbah kungnya?

"Bener kata mbahtimu. Menikah itu bukan perkara main-main. Menikah itu juga bukan hanya perihal dari dua orang, melainkan juga dua keluarga. Dibanding yang lainnya, ilmu adalah hal terpenting dalam memilih calon. Apalagi calon ibu dari anak-anakmu. Karena nantinya istrimulah yang akan banyak menghabiskan banyak waktu dengan anak.

Anakmu akan belajar alif ba ta pertama kali dari istrimu, jika dia yang mengajarkannya. Tapi anakmu juga bisa belajar selain alif ba ta pertama kali jika istrimu mengajarkannya yang lain. Yang terpenting lagi, seorang ibu haruslah seorang wanita yang kuat mentalnya. Tidak hanya pintar dalam mengurus rumah dan suami. Apalagi jika suaminya memiliki peran yang berbeda dengan laki-laki lain di luar sana."

Gus Faqih mengerti ke mana arah pembicaraan kakeknya. Dia selalu mengosongkan gelas terlebih dahulu setiap kali ada moment berdua bersama sang kakek. Karena pasti akan ada ilmu yang terselip di sela-sela obrolan mereka.

"Kamu sendiri pasti sudah tahu bukan, syarat-syarat apa saja yang seharusnya ada dalam wanita yang akan dijadikan istri. Salah satunya adalah nasab. Kenapa harus nasab? Karena nasab juga bisa menentukan pembentukan karakter seseorang. Meski tidak semuanya, tetapi nasab yang baik insyaallah akan melahirkan generasi yang baik pula."

Kyai Maksum menjeda kalimatnya. Kali ini netranya beralih pada pagar di depan rumah. "Istikhorolah! Agar pilihanmu benar-benar mantap. Laila gadis yang baik, dan insyaallah nasabnya juga baik. Tapi kekhawatiran orang tua tetap tidak boleh diabaikan. Jika Laila memang jodoh yang ditetapkan Allah buatmu, Allah juga pasti akan berikan jalan yang mudah untuk niat baik kamu. Yang terpenting, jangan membuat seseorang berharap pada ucapanmu. Hati-hati dengan perasaan seorang wanita. Air matanya bisa jadi doa untuk laki-laki. Entah itu doa baik, ataupun buruk."

Kalimat terakhir dari Kyai Maksum begitu keras menghantam hati Gus Faqih. Air mata seorang wanita bisa menjadi doa untuk laki-laki. Seketika pikirannya kembali pada wanita yang telah dibuatnya menangis beberapa waktu yang lalu. Ah ... Sarah.

*** 

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang