Sebelumnya saya mohon maaf karena cukup lama nggak up. Karena rencananya RiH ini sudah akan naik cetak di bulan Mei mendatang. Alhamdulillah saya ikutkan event di salah satu penerbit dan ternyata lolos. Tapi qadarullah, sampai sekarang saya masih belum bisa merampungkan RiH ini sampai ending, karena sakit dan ada beberapa hal yang mengganggu saya. Jadi saya belum bisa memastikan kembali, apakah cerita ini masih akan lanjut tayang di sini sampai akhir dan tidak jadi naik cetak, atau kita bisa ketemu endingnya di buku saja.
Mohon doanya yang terbaik, ya ... hehe
Ini termasuk part bonus atau masih akan ada part lagi selanjutnya, saya belum bisa memastikan. Tapi yang pasti saya mohon dimaklumi jika penayangan RiH agak lebih lama dari biasanya. Terima kasih banyak readers ... koment dan vote kalian selalu jadi penyemangat saya.
------------
Gus Faqih sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa sepanjang dirinya makan siang bersama dengan mbah kung dan mbah tinya. Bayangan Laila yang terjatuh di depannya benar-benar membuat bibirnya tak berhenti tersenyum geli. Dia bisa bayangkan bagaimana rasa malu yang Laila rasakan. Terlebih gadis itu jatuh di depan para santri putra.
Biasanya siang-siang begini Laila akan membantu menyiapkan makan siang untuk Kyai Maksum. Tapi karena malu untuk bertemu Gus Faqih, dia malah mengurung diri di kamar sambil merutuki diri. Ada salah satu temannya yang ikut membantu mengompres pinggangnya dengan botol berisi air hangat. Bahkan temannya yang hanya mendengar cerita Laila saja sudah tak berhenti tertawa. Apalagi Gus Faqih yang nyata-nyata menonton adegan itu.
"Ish, terus ketawa, terooos!" sungut Laila.
"Lagian kamu tuh kok ndak hati-hati." Teman Laila yang bernah Asih itu kembali tertawa.
"Trus, trus, guse bilang gimana pas lihat kamu jatuh?"
"Ledek terooss!"
"Haha, ya maaf. Aku ndak bisa bayangin gimana malunya kamu, loh."
Laila yang memang tengah tengkurap langsung membenamkan wajahnya ke bantal. Bagaimana dia harus menghadapi Gus Faqih nanti? Nggak mungkin dia bisa terus menerus menghindar dari laki-laki itu. Secara tugasnya untuk menjaga Humairo akan selalu memaksa dia untuk masuk ke dhalem. Rasa kesalnya bertambah mendengar cekikikan temannya yang masih tak berhenti.
***
Gus Faqih terbangun di tengah malam. Pasalnya lagi-lagi dia memimpikan wanita yang sama. Laila.
Dalam mimpinya gadis itu tengah merajut sepasang sepatu mungil berwarna putih. Sepertinya sepatu itu untuk seorang bayi laki-laki, karena tidak ada aksen yang menunjukkan bahwa itu untuk bayi perempuan seperti pita ataupun bunga. Sementara dirinya hanya memperhatikan dari balik jendela.
Tak berselang lama, Laila menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Membuat debar jantungnya makin cepat. Hingga ia pun terbangun dari tidurnya.
Selepas melaksanakan sholat malam, pria itu melangkahkan kaki ke halaman depan rumah mbah kungnya. Suara jangkrik terdengar bersahutan. Suasana malam yang dingin meski tak ada hembusan angin mulai menyapa.
Helaan nafas pelan pun ia keluarkan. Wajahnya sesekali mendongak ke atas, mencari sisa sinar rembulan dan gemintang yang masih bersembunyi di balik awan. Kepulangannya ke Indonesia kali ini di sambut dengan hujan. Hampir setiap hari langit menyembunyikan sinar mentari dan juga rembulan.
Gus Faqih ingat betul, waktu kecil dia paling suka menghabiskan waktu di tempat itu. Makanya untuk melatih kemandiriannya, abah dan uminya membiarkan Gus Faqih kecil tumbuh di sana. Namun sayang, Kyai Maksum sang mbah rupanya punya cara berbeda dalam mendidik kemandirian. Gus Faqih kecil tidak boleh diam di dhalem kecuali hari jumat. Dia harus berbaur bersama para santri di asrama. Tidak boleh juga mendapat perlakuan istimewa kecuali saat bersama Kyai Maksum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Novela Juvenil"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...