"Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu?" tanya Kyai Mushab saat Gus Faqih mengutarakan hasil dari istikhoronya.
Sebenarnya dia bukan tidak yakin akan keputusannya, tapi dia hanya riskan jika ternyata keputusannya malah akan membuat hubungan dua keluarga itu menjadi renggang.
"Kalau sudah yakin, nanti Abah yang bilang sama mbahkungmu. Tapi nanti kalau ditanyakan alasannya, kamu sendiri yang harus menjelaskan."
"Tapi, apa ndak pa-pa, Bah? kalau nanti hubungan Mbah Kung sama Kyai Nawawi pecah, bagaimana?"
"Haha, memangnya hubungan bisa pecah hanya karena masalah begitu? Kyai Nawawi dan mbahkungmu berteman sejak mereka di Mekkah dulu. Masa cuma karena masalah cucunya mau ngorbanin persahabatan yang sudah berpuluh-puluh tahun."
Gus Faqih menggaruk pelipisnya, tapi itu bisa saja, batinnya.
"Ya sudah, kamu siap-siap sana! Kita ke rumah mbahmu sekarang."
"Apa? Mau ke mana?" Nyai Zainab tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar sembari membawa beberapa baju Gus Faqih yang baru saja selesai di setrika.
"Ke rumah abah," Kyai Mushab menjawab.
"Mau ngapain?"
"Mau ngasih tahu hasil istikhoro Faqih."
"Emangnya kenapa istikhoronya? Ndak aneh-aneh 'kan?"
Gus Faqih membantu membukakan pintu lemari miliknya saat melihat sang umi berjalan ke sudut kamar. Ekor mata wanita paruh baya itu mengarah pada Gus Faqih yang berusaha menampilkan wajah lucu di depannya.
"Kamu tuh, ya!" Nyai Zainab menepuk lengan Gus Faqih dengan keras setelah baju-baju di tangannya berpindah ke dalam lemari.
"Aduh ...!" Gus Faqih meringis, sementara Kyai Mushab malah terkekeh melihat putranya terkena gempuran dari sang ummi.
****
Kyai Maksum menghela nafas panjang. Cerutu ditangannya ia lepas perlahan. Sementara Gus Faqih dan Kyai Mushab terdiam di sampingnya.
Dua cangkir batik berisi kopi panas tersaji di depan mereka, lengkap dengan pisang goreng hangat yang juga masih mengepul. Setelah mengutarakan hasil istikhoronya, kerongkongan Gus Faqih terasa kering. Ingin sekali ia menyesap kopi hitam yang juga masih nampak mengepul itu. Namun, melihat ekspresi dari lelaki sepuh di depannya, membuat keinginannya mengkerut seketika.
"Besok kita ke sana." Suara berat milik Kyai Maksum terdengar.
Gus Faqih tahu, apa yang dikhawatirkannya tadi pasti juga tengah dikhawatirkan oleh kakeknya itu. Hanya abahnya saja yang nampak sangat santai menyikapi masalah itu.
***
Nuri berdiri di balik gorden pembatas ruangan tengah dan ruang tamu saat mendengar penuturan Kyai Maksum tentang hasil istikhoro dari Gus Faqih. Ada yang menusuk di dalam hatinya. Tertancap dalam hingga membuat sesak.
Ia tak menyangka, secepat itu Allah mengirim karma padanya. Rasa sakit di hati serta pikiran negatif mulai bersarang di otaknya. Mungkinkah Gus Faqih mengatakan hasil istikhoronya tidak bagus hanya karena dirinya adalah saudara dari wanita di masa lalunya?
Sarah sudah mengikhlaskan semuanya, tapi kini keadaan malah balik menyerangnya. Masalah yang dia pikir sudah menemukan jalan keluar, nyatanya malah tertutup. Bahkan sebelum dia berusaha mengetuk pintu dari rumah yang ingin ia tempati itu.
Benar apa yang dia dengar dari sang abah dahulu, bahwa Allah baru akan membalas di saat kita sudah benar-benar ikhlas dan legowo. Jika seseorang bersedekah dengan mengharapkan imbalan, meski imbalan itu ia harap dari Allah, tetap saja Allah akan menunda untuk membalasnya. Namun jika setelah bersedekah dia melupakan segalanya, benar-benar hanya karena lillahi ta'ala, maka Allah pasti akan membalasnya dengan berkali lipat untuknya.
Begitu juga dengan rasa sakit. Allah baru akan memberi balasan pada seseorang yang menyakiti jika yang tersakiti sudah merasa ikhlas dan memaafkan segalanya. Mungkin inilah balasan Allah akan perbuatannya kemarin, karena Sarah sudah mengikhlaskan semuanya. Jadi sekarang, Allah membalik posisi itu. Dan dia harus menebus kesalahannya pada Sarah dengan rasa sakit yang sama atas penolakan Gus Faqih.
Seseorang menyentuh pundaknya pelan. Menyadarkan lamunan yang sempat menguasainya barusan. Gadis itu menoleh pada seorang wanita cantik yang telah melahirkannya.
Genangan air yang sejak tadi tertahan di kelopak mata Nuri, luruh seketika. Giginya terkatup rapat, menahan isak. Sementara netranya meminta pertolongan pada wanita yang kini sudah merengkuh tubuhnya. Akhirnya, tangis itu pun pecah dalam pelukan sang ummi.
***
[Boleh Nuri bertanya sesuatu?]
Sebuah pesan mendarat di aplikasi chat room berwarna hijau milik Gus Faqih saat mereka dalam perjalanan pulang ke Pesantren At-Taufiq. Pria berambut ikal itu nampak ragu untuk membalasnya. Tentu saja gadis itu harus bertanya padanya. Apalagi tentang keputusannya yang masih belum sempat ia beritahukan langsung pada gadis itu.
[Boleh.] Balasnya setelah hampir dua menit ia berpikir.
[Boleh Nuri tahu alasan Mas Faqih membatalkan khitbah?]
Tak perlu menunggu lama, balasan itu langsung ia terima. Seolah memang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Nuri.
[Mas Faqih minta maaf, Nuri. Mungkin Nuri bisa bertanya langsung sama Abah.]
Mana mungkin dia akan berkata bahwa hasil istikhoronya tidak baik? Bukankah nanti malah akan membuat Nuri semakin terluka.
[Apa karena Sarah?]
Gus Faqih tertegun. Ia mengerjap tak percaya. Dari mana Nuri bisa tahu tentang Sarah? Apa Sarah sudah bercerita padanya? Bagaimana jika Nuri mengambil kesimpulan sendiri lalu menceritakan hal itu juga pada keluarganya? Padahal alasannya membatalkan khitbah bukan karena itu. Bisa terjadi kesalah pahaman antar dua keluarga itu nantinya.
[Bukan.]
[Lalu?]
Pria berpeci hitam itu mengusap kasar wajahnya. Nampak bingung untuk menjelaskan semuanya pada Nuri. Mengatakan hal sebenarnya akan sangat menyakiti wanita itu, tapi jika tidak mengatakannya, Nuri bisa terus saja salah paham akan hubungannya dengan Sarah. Sementara dirinya memang tidak pandai berbohong ataupun mencari alasan.
[Karena hasil istikhoro Mas Faqih yang mungkin tidak sesuai.]
Entah Nuri akan membencinya atau tidak dengan jawabannya itu, atau malah akan ada masalah yang jauh lebih besar di belakang hari, dia pasrah. Sementara di seberang, Nuri gemetar memegang ponselnya. Membaca dengan seksama balasan dari pria yang sudah berhasil mengambil hatinya itu.
Hasil istikhoro yang tidak sesuai, bagaimana maksudnya? Apa itu artinya Nuri tidak cukup baik untuknya? Atau ini hanya alasan saja agar Nuri tidak membenci dan menyalahkan Sarah?
Apa pria itu tidak ada yang harus dijelaskan padanya secara detail? Apa hubungan mereka benar-benar sudah berakhir begini saja? Oh Tuhan, ingin rasanya Nuri menemui Gus Faqih dan bertanya tentang alasan dia yang sebenarnya.
Namun, segala sesuatu yang menurutnya baik, mungkin memang tidak baik menurut Allah. Segala sesuatu yang dirasa akan membawa kebaikan untuk hidupnya, bisa saja malah membawa keburukan nantinya. Mungkin keputusan Gus Faqih saat ini belum bisa ia terima sepenuhnya. Tapi jika dia meyakini bahwa Allah tidak akan menjauhkan yang baik darinya, pasti akan ada hikmah yang bisa ia ambil dari pembelajaran ini.
Kehadirannya mungkin sudah menjadi penyebab luka bagi Sarah. Makanya Allah menimpakan rasa sakit yang sama saat ini untuk hatinya. Beruntung, karma itu langsung dijatuhkan padanya, bukan pada keluarganya atau malah pada keturunannya kelak.
Allahlah sebaik-baiknya perencana. Dia juga yang Maha Tahu, mana yang terbaik untuk dirinya. Jika dia masih mencecar pria itu dengan menanyakan alasannya, akan sama halnya dengan dia tidak menerima takdir dari Allah.
Itulah kenapa, dia cukupkan rasa ingin tahunya. Agar Allah juga segera melapangkan hatinya. Ia memilih untuk mempercayai dan menerima alasan Gus Faqih tanpa bertanya lagi, agar Allah juga segera menyembuhkan lukanya. Sekarang, tinggal bagaimana dia harus menunggu hikmah apa yang akan Allah kasih untuknya. Karena Allah takkan pernah menimpakan rasa sakit tanpa memberi penawarnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Novela Juvenil"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...