14 - Perbedaan

800 165 16
                                    

Kesedihan …
Hanya akan dirasakan oleh manusia
Yang terlalu berharap pada manusia lainnya
Seperti aku …
Yang berharap pada dirimu
Harapan menata masa depan bersamamu
Kini terhempas oleh riak kecil sungai nil
Yang juga menjadi saksi
Dari jerit rasa patah hati
_______________________________

Sarah menengok jam tangannya beberapa kali. Sesekali wajah itu terlihat berputar, mengedarkan pandang ke sekeliling Ashob Solichin. Sebuah kedai makanan yang juga menyediakan beberapa kudapan khas negeri Fir’aun itu.

Abinya yang akrab dengan panggilan Habib Musthofa itu juga mulai menyadari, bahwa ada seseorang yang ditunggu oleh putrinya itu. Dia pun meletakkan ponsel di atas meja, lalu menyentuh tangan putrinya pelan. Ekspresinya penuh tanda tanya.
Sarah tersenyum, lebih tepatnya meringis tak nyaman. “Ada seseorang yang ingin bertemu sama Abi,” ujarnya kemudian.

“Siapa?”

“Temen.”

“Yakin?”

Sarah mengigit bibir. Ia ragu Abinya takkan marah jika dia mengatakan yang sejujurnya. Karena memang hubungan Sarah dengan Gus Faqih juga tidak bisa dibilang seserius itu.

“Ikhwan?” Habib Musthofa mencoba menebak.

Sarah menjawabnya dengan anggukan penuh keraguan.

Sementara di kampus, Gus Faqih masih sibuk dengan tugas kuliahnya yang baru. Dia bukannya lupa pada janjinya dengan Sarah. Namun, dia memang masih belum siap untuk menemui ayah dari wanita yang sudah sejak lama dia sukai itu.

Alasan sebenarnya bukan hanya karena dia belum siap, melainkan karena pernyataan Sarah beberapa waktu lalu tentang bagaimana keinginannya jika sudah menikah. Sementara itu sangat bertentangan dengan keinginan Gus Faqih nanti jika dia menikah.

Apa yang bisa disatukan jika keinginan saja sudah berbeda? Diakah yang harus berkorban, atau Sarah yang harus mengalah? Sedangkan dia sama sekali tidak ingin menjadi pemutus impian dari orang yang sangat dia sayangi.

Ini bukan hanya masalah keinginan, namun juga maruah keluarga. Lebih-lebih keluarga seorang syarifah seperti Sarah yang seharusnya mendapatkan jodoh seorang sayyid. Bukan seorang ahwal seperti dirinya.

Hari itu, Gus Faqih sengaja menyelesaikan beberapa tugas sekaligus. Menyibukkan diri seharian di perpus dengan meninggalkan ponselnya di kontrakan. Karena dia sama sekali takkan pernah bisa berbohong pada Sarah jika sampai gadis itu menanyakan keberadaanya.

Tepukan keras membuyarkan lamunan Gus Faqih. Ucapan istighfar meluncur bebas dari bibirnya. Tak lupa desisan yang juga mengakhiri ucapan istghfar itu.

“Kebiasaan, Ning, ini!”

Ning Zubda menyeringai, lantas duduk di samping Gus Faqih yang sejak tadi tengah menatap kolam ikannya.

“Ning, kok belum pulang?”

“Idih, suka-suka aku dong.”

Bibir Gus Faqih terkatup, ia malah melipat tangan di depan dada.

“Ngelamunin apa?”

“Sok tau!” tandas Gus Faqih.

“Kalau nggak ngelamun, dipanggil pasti denger.”

“Emang Ning Zubda manggil Faqih?”

“Hmm, ‘kan? Bilangnya nggak ngelamun.”

Lagi-lagi Gus Faqih tak lagi mencecar.

“Ditanyain si mbah.”

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang