Maafkan, karena baru bisa up.
Badannya habis drop dari dua minggu yang lalu. Ini baru bisa nyicil nulisnya lagi. Moodnya juga masih sering jeblok banget. Jadi harap dimaklumi ya ..
Hehe..
Temen², jaga kesehatan ya, tetep bahagia dan jaga pola makan.
-------------
💚Ini bukan kali pertama Laila ke Pesantren Al-Falah. Jauh sebelum Gus Faqih pulang ke Indonesia, Nyai Hasanah sudah sering mengajaknya ke sana. Namun kali ini rasanya sangat berbeda bagi gadis berusia dua puluhan itu. Jantungnya berdebar cepat sejak mobil memasuki portal pertama Pondok Pesantren. Bahkan bertambah cepat saat mobil kijang berwarna hitam itu masuk ke halaman parkir dhalem.
Pupil matanya sedikit takut untuk mengedarkan pandangan seperti biasa. Bagaimana jika tiba-tiba Gus Faqih berdiri di sana, atau bagaimana jika ternyata pandangannya bersirobok dengan pria itu? Betapa akan sangat memalukan baginya.
Humairo sudah bangun dari tidurnya. Ia menolak untuk digendong oleh Laila. Gadis kecil itu malah langsung berlari masuk ke dalam rumah bermodel semi modern di depannya. Nyai Hasanah tersenyum, ekor matanya mengikuti langkah kecil Humairo. Sementara Laila langsung menurunkan beberapa oleh-oleh yang dibawa Nyai Hasanah dan mengekor di belakang wanita sepuh itu.
"Loh, Umi! Kenapa ndak ngabarin dulu kalau mau ke sini?" Nyai Zubda gupuh menyambut Nyai Hasanah. Ia baru saja keluar dari kamar setelah salah satu khadamah mengabari tentang kedatangan sang mertua. Tubuhnya masih terbalut mukena putih dengan bordir penuh di bagian tepi wajah.
"Masa mau maen ke rumah anak saja perlu ngabarin."
"Maksudnya kalau ngabarin kan, bisa saya sediakan sesuatu yang spesial begitu, Mi."
"Hallah, kayak sama mertua baru saja." Nyai Hasanah terkekeh.
Nyai Zubda ikut tersenyum. Seperti biasa, Laila pun langsung mengikuti salah satu khadamah di sana masuk ke ruang makan. Menyiapkan apa yang dia bawa untuk ikut dihidangkan di meja makan. Melihat dari posisi lauk yang sepertinya belum tersentuh, mungkin keluarga Nyai Zubda masih belum sarapan. Netranya melirik jam dinding di depannya, masih jam 8.30.
"Bu nyai belum sarapan, Mbak?" tanya Laila.
"Nggeh, belum, Mbak. Biasanya masih nunggu abah yai selesai maknani kitab."
"Oh, alhamdulillah kalau begitu." Laila tersenyum senang. Itu artinya Gus Faqih pasti juga belum sarapan.
"Wah, Mbak Laila bikin apa ini sekarang, Mbak?" khadamah itu menunjuk udang krispi yang Laila pindah ke atas piring.
"Kayak di tivi-tivi gitu," ujar khadamah itu lagi.
Laila lagi-lagi hanya tersenyum. "Namanya udang krispi, kesukaan guse," jawabnya kemudian.
"Oalah, udang kriuk."
"Haha, iya-iya, itu."
"Mbak Laila, maem." Tiba-tiba saja tangan kecil Humairo menarik gamis Laila. Sementara satu tangan lainnya menunjuk udang di tangan Laila.
"Sama nasi, ya?" tawar Laila.
Gadis kecil itu menggeleng. Mau tidak mau Laila pun akhirnya memberikan satu udang untuknya. Dengan cepat ia menyambar udang dari tangan Laila dan langsung pergi lagi entah ke mana.
Laila tak perlu khawatir untuk mengikuti atau menunggui Humairo di rumah itu. Karena di sana juga banyak khadamah yang akan menjaganya. Meski untuk urusan krusial tetap harus bersama Laila, seperti ke kamar mandi, ataupun urusan makan.
Untuk selanjutnya, sambil menghabiskan waktu menunggu biasanya Laila akan lebih banyak ikut berkutat di dapur bersama para khadamah yang lain. Sekilas ia juga mendengar mereka tengah membicarakan Gus Faqih yang selalu berhasil membuat para santri jatuh cinta karena keramahannya. Ada senyum disertai gelengan kepala dari Laila yang mendengarnya, jadi Gus Faqih memang ramah pada semua orang? Bodohnya dia yang berpikir bahwa pria itu hanya bersikap begitu padanya.
"Wah, Mbak Cahaya curang ini!"
Suara dari Gus Faqih di ambang pintu cukup mengagetkan mereka, tak terkecuali Laila yang saat itu tengah membelakangi pintu. Tiga orang khadamah yang tadi bergosip langsung bangkit dari duduknya. Menundukkan kepala sambil menutup mulut mereka rapat-rapat. Sementara satu khadamah lain yang membantu Laila menyiapkan hidangan di meja, mundur perlahan dari tempatnya.
Laila berbalik badan, didapatinya pria yang sejak tadi menjadi pembahasan itu tengah menggendong Humairo sambil menatapnya. Gadis itu menelan salivanya, tak tahu harus menjawab apa. Pikiran tentang Gus Faqih yang tadi sempat membuatnya ilfeel tiba-tiba menghilang, berganti dengan rasa gugup.
Kakinya seolah kaku untuk sekedar ia geser saat lelaki itu beranjak mendekat ke arahnya. Dengan sigap tangannya mendudukkan Humairo di salah satu bangku yang barusan dia tarik. Lalu tanpa canggung mengambil rantang berisi udang yang belum sepenuhnya Laila pindah ke piring. Ada wangi parfum yang langsung menguar di indera penciuman Laila. Menambah rasa gugup di hati gadis itu.
"Hmm, masyaallah. Wanginya saja sudah bikin laper." Gus Faqih mencium isi rantang di tangannya dan langsung mengambil satu ekor udang krispi buatan Laila.
Laila mundur dengan cepat sambil menarik satu bangku lainnya untuk Gus Faqih.
"Makan itu adabnya sambil duduk," lirih Laila.
"Wah, masyaallah, hahaha, iya-iya. Lupa! Dari saking kangennya sama udang buatan Mbak Cahaya jadi lupa sama adab makan."
Gus Faqih yang seharusnya merasa malu akan teguran Laila malah mengalihkannya pada candaan. Ia pun duduk di bangku yang sudah Laila tarik sebelumnya, dan langsung melahap udangnya bersama Humairo. Debar di dada Laila semakin menjadi, perlahan senyumnya mulai tersimpul melihat pria manis yang sangat menyukai masakannya itu.
***
Nuri berdiri di koridor rumah sakit, tepat di depan kamar Sarah dirawat. Pandangannya nampak ragu menatap salah satu profil kolom chat di ponselnya. Haruskah ia mengabari pria di seberang sana tentang keadaan Sarah saat ini? Haruskah ia melakukan pengorbanan seperti cerita-cerita yang pernah dia baca sebelumnya di novel-novel romance? Tapi untuk apa? Dan akankah itu lebih baik bagi dirinya maupun Sarah? Sementara Sarah sudah sudah memiliki pasangan hidupnya yang lain.
Pupil cokelat itu melirik kembali ke dalam ruangan Sarah. Gadis itu masih belum membuka matanya hingga saat ini. Nuri bahkan belum mendapatkan satupun pesan dari Gus Faqih meskipun hanya sekedar pertanyaan kabar atau sudah sampai belum di rumah sejak saat itu. Pikirannya sama sekali tidak bisa berhenti suudzon. Mungkinkah Gus Faqih hanya mengirim pesan pada Sarah? Mungkinkah pria yang menjadi pilihannya itu malah lebih mengkhawatirkan Sarah dibanding dirinya? Lalu, siapa orang ketiga dalam hubungan mereka? Dia atau Sarah?
Suami Sarah baru saja datang dan langsung masuk ke ruangan istrinya setelah menyapa Nuri dan keluarganya. Sebentar kemudian Habib Ali juga terlihat datang dari arah yang berlawanan. Wajahnya terlihat pucat dan khawatir.
"Bagaimana kata dokter, Bang?" tanya Nyai Wardah.
"Apa suami Sarah sudah datang?" Habib Ali balik bertanya.
"Sudah."
"Aku harus menemuinya."
"Biar Nuri saja yang panggilkan."
Nuri langsung masuk ke dalam ruangan Sarah, memanggilkan lelaki yang juga nampak khawatir di samping Sarah. Ia tak berniat untuk ikut keluar dari ruangan itu, meski dia sangat ingin tahu bagaimana kondisi Sarah sebenarnya. Hanya saja, hatinya merasa belum siap untuk mendengar kemungkinan terburuk apapun mengenai sepupunya itu.
Sarah bukan hanya sepupunya, tapi sudah seperti saudara kandungnya. Mereka selalu menghabiskan masa liburan bersama sebelum Sarah melanjutkan studi ke Mesir. Entah Sarah yang menginap di rumah Nuri, atau Nuri yang menginap di rumah Sarah. Mereka selalu bertukar cerita tentang apapun.
Namun, tak pernah sekalipun mereka membahas tentang seorang laki-laki. Karena dalam keluarga mereka pembahasan tentang itu memanglah tidak pernah ada. Apalagi keluarga Sarah yang sangat menentang mati-matian hubungan sebelum pernikahan.
Nuri mendekat kembali pada Sarah, menggenggam jemari lentik itu sambil berucap lirih.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Sarah? Bangunlah! Utarakan keinginanmu dengan jelas! Agar aku bisa membantumu."
Bulir bening luruh di wajah cantik itu, dia sudah memutuskan untuk hatinya. Jika Sarah memang menginginkan dia untuk melepas Gus Faqih, maka dia akan melakukannya tanpa bertanya lagi apa alasannya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...