Bagaimana tidak salah tingkah jika ternyata hari ini Nyai Hasanah tiba-tiba memberi tugas pada Laila untuk berbelanja barang-barang yang akan digunakan untuk santunan anak yatim besok malam. Bukan karena perintahnya, melainkan karena harus bersama siapa Laila berangkat saat itu. Benar, pria yang tak pernah lepas dari sarung dan peci hitamnya itu tersenyum lebar saat melihat Laila memasuki mobil Avanza milik mbahnya.
Mbak Tun kebetulan lagi ijin menemani keluarganya yang baru melahirkan kemarin di rumah sakit. Sementara dua khadimah lainnya harus berbagi tugas menyiapkan kebutuhan di dhalem serta menemani Ning Humairo. Nyai Hasanah sendiri jauh lebih percaya pada Laila dalam hal membeli sesuatu keluar. Sebagai khadimah, Laila juga tidak boleh mengajak santri untuk keluar dari pesantren. Terpaksa kali ini dia harus bertahan sendiri.
Gus Faqih menyentuh dadanya yang sejak tadi berdegup kencang. Entah sejak dia mendengar nama Laila disebut oleh mbahti-nya, atau sejak ia teringat akan mimpinya semalam. Degupnya semakin kencang saat melihat gadis mungil bergamis hijau tosca itu masuk ke dalam mobil dengan muka bersemu merah.
Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan tidak ada satupun suara yang terdengar di dalam mobil. Bahkan Gus Faqih yang biasanya suka mengobrol dengan Abdul, kini membisu. Apalagi Laila yang statusnya hanya seorang pengabdi.
Langit yang memang sejak pagi tadi sudah menyembunyikan rona jingga dari fajar, kini malah semakin terlihat pekat. Tak lagi ada awan yang menggantung, warna biru langit seolah diambil alih dengan warna abu-abu. Semilir angin dingin ikut masuk dari sela-sela kaca mobil yang terbuka.
"Sepertinya mau hujan niki, Gus." Abdul akhirnya membuka percakapan di antara mereka.
Gus Faqih yang semula sibuk dengan gawainya kini tak sengaja bersitatap dengan Laila dari kaca spion. Cepat Laila memalingkan muka. Sementara Gus Faqih mengulum senyum karena berhasil memergoki Laila yang ternyata sejak tadi memperhatikannya diam-diam.
"Di belakang ada payung 'kan, Kang?"
"Sepertinya ada, Gus."
"Payung saya belum dikembalikan soale sama yang minjem."
Ekor mata Laila kembali melirik ke arah spion mendengar sindiran Gus Faqih. Pria yang memang menunggu gadis di belakangnya merasa tersindir cepat menaikkan alis sambil melempar senyum saat mendapati Laila kembali bersitatap dengannya.
Duh, kenapa harus di saat aku sendiri begini hujan ini datang? rutuknya dalam hati.
Dia tak punya keberanian untuk meladeni ataupun menjawab sindiran Gus Faqih. Karena kenyataannya memang begitu. Dia hanya mengembalikan baju dan juga uang Gus Faqih, sedang payungnya masih tersimpan rapi di pojok kamarnya. Lupa.
Benar saja, perlahan rintik hujan mulai berjatuhan. Terlihat beberapa orang yang berjualan di sisi jalan sibuk menutupi dagangannya dengan kardus ataupun plastik lebar. Banyak pengendara motor yang juga menepi untuk sekedar berteduh ataupun memakai mantel hujan.
Senyum Gus Faqih perlahan menghilang. Wajahnya tertunduk, tak lagi menatap Laila dari spion. Wangi hujan pertama menapak bumi memang sudah tak tercium lagi, namun kenangannya bersama Sarah masih terus saja mengusik setiap kali rintik itu turun dari langit.
Aaah, dia rindu. Rindu pada gadis itu. Rindu pada senyumnya. Rindu pada semangatnya. Rindu pada setiap candanya. Juga rindu pada wajah sembab yang mungkin kini telah sangat membencinya.
"Seorang pria sangat lihai menyembunyikan lukanya. Mereka juga sangat jarang bisa meluapkan perasaan sedihnya lewat tangisan seperti wanita. Itu sebabnya, biasanya para pria akan lebih susah move on dibanding wanita. Meski sudah ada wanita lain di sampingnya. Apalagi jika wanita itu adalah wanita yang paling banyak memberi arti bagi hidupnya."
Ucapan Ning Zubda waktu itu kembali terngiang. Ucapan yang semula sangat tidak ia percayai. Dan sepertinya itu benar, karena Gus Faqih tengah merasakan hal itu sekarang. Ia menghela nafas berat sembari menutup matanya, masih mencoba menghilangkan bayang-bayang gadis itu dari pikirannya. Tentu saja dengan rapalan istigfar di bibirnya.
***
"Ini sudah semua, Kang?" tanya Gus Faqih saat melihat Abdul membawa tiga troli jumbo penuh dengan berbagai macam barang. Laki-laki yang ditanya langsung berbalik badan ke arah Laila yang berjalan di belakangnya dengan troli mini di tangannya. Sepertinya barang di troli Laila sedikit berbeda dengan isi troli yang dibawa Abdul.
Gadis mungil itu melongokkan wajah penuh tanya. Gus Faqih mengulang pertanyaannya. "Oh, nggeh, sampun," jawab Laila.Abdul mulai menurunkan satu persatu barang dari troli ke meja kasir dibantu oleh salah seorang pramuniaga. Sementara Laila masih mengantri di belakangnya. Gus Faqih sendiri menunggu dengan sabar di ujung meja kasir untuk melakukan pembayaran.
"Sekalian sama yang itu, Mbak!" Pria di ujung menunjuk pada troli Laila."Oh, ndak usah, Guse. Ini saya bayar sendiri saja."
"Nggak papa, tagihannya masuk ke saya, kok. Bukan ke mbah ti."
Abdul yang berada di tengah-tengah mereka malah bingung melihat keduanya engkel-engkelan.
"Hm ..." Abdul sedikit berdehem. Menyadarkan mereka bahwa di sana tak hanya ada mereka.
"Begini saja, kalau Mbak Laila ndak mau dibayarkan, gimana kalau Mbak Laila yang bayar semua ini sekalian?" tawarnya.
"Ish, ngarang, Kang Abdul ini."
"Nah makanya, terima saja niat baik Guse," putus Abdul sembari menarik kartu debit dari tangan Gus Faqih yang sudah sejak tadi terulur di depannya.
"Monggo, Mbak!" ujar lelaki itu sambil menyerahkan kartu di tangannya pada petugas kasir dengan sopan.
Laila menggigit bibir. Bola matanya tak berani ia edarkan karena beberapa pasang mata masih memperhatikan mereka. Malunya.
Selepas melakukan pembayaran, Gus Faqih mengajak mereka untuk makan siang sambil menunggu hujan reda. Laila menengok jam di pergelangan tangannya.
"Sudah masuk waktu dhuhur, Guse. Ngapunten, saya ijin sholat dulu, nggeh. Guse sama Kang Abdul bisa duluan saja."
Deg. Penolakan Laila seketika menghantam dada Gus Faqih. Bukan pada penolakannya, melainkan pada alasan di balik penolakannya.
Begitulah seharusnya seorang muslim sejati. Mendahulukan kewajiban daripada hak. Entah sejak kapan degup di jantungnya menjadi semakin cepat saat melihat Laila yang pergi meninggalkan mereka tanpa menunggu persetujuannya.
Gus Faqih menelan liur yang sejak tadi berpangkal di tenggorokannya. Dia merasa mulai aneh. Perasaannya mulai aneh. Kelebatan mimpi-mimpinya malah makin memperparah degup jantungnya.
"Pripun, Gus?" tanya Abdul menyadarkan pria yang saat ini tengah memegang dadanya.
"Kita sholat dulu juga. Ayo, Kang!"
Abdul bergegas mengekor di belakang gusnya yang langsung beranjak menyusul Laila.****
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...