31 - Yang Terbaik

684 172 22
                                    

Selepas sholat dhuhur ternyata Laila sudah lebih dulu selesai. Ia berdiri di teras musholla yang letaknya berada di pojok halaman parkir. Memperhatikan sebuah sandal selop yang ia tahu itu milik Gus Faqih.

Ah, lebay aku ini. Cuma lihat sandalnya saja sudah deg-degan. Hati Laila merutuk, sementara tangannya mengelus-ngelus pelan dadanya.

Netra gadis itu berpaling ke arah langit. Menatap mendung yang masih belum berarak pergi meski hujan sudah tak selebat tadi. Di sampingnya teronggok dua payung berwarna hitam. Warna payung yang menurutnya sangat jarang dimiliki orang-orang Indonesia.

Rasa sejuk menyapa rongga hidung dan wajahnya. Laila biarkan matanya terpejam perlahan. Menikmati belaian angin dan percikan gerimis bersamaan.

Tanpa gadis itu sadari ada sepasang mata dari dalam musholla yang juga tengah mencoba menenangkan degup jantungnya. Sepasang mata yang sudah sejak tadi memperhatikannya dari balik jendela. Perlahan sudut bibir pria itu terangkat, mengutas senyum kecil di sana.

****

Menu yang dipilih tiga manusia itu beragam. Gus Faqih memilih nasi rawon, sementara Laila memilih lalapan wader, dan Abdul memilih nasi rames lauk komplit dengan piring terpisah. Mumpung ditraktir guse katanya.

Pesanan Gus Faqih tiba lebih dulu. Rawon dengan kuah kental berwarna hitam itu mengepul saat tiba di meja mereka. Ada satu piring tambahan lauk di sampingnya yang berisi empal daging, tahu, tempe, dan telur asin. Selain itu acar, toge, dan sambalnya sudah sejak tadi siap di tengah-tengah meja.

Yang kedua datang adalah pesanan Abdul. Nasi putih di salah satu piringnya juga mengepul. Terlihat sekali bahwa nasi itu bukan hanya hangat, melainkan masih panas. Menu lauk komplit ternyata bener-bener komplit. Ada satu potong ikan tongkol bumbu merah, telor dadar, tempe kering, tumis buncis dan wortel, serta kuah lodeh. Tak lupa sambal bajak dan geprekan terong bakar di atasnya.

Laila menelan liur melihat pesanan mereka sudah datang. Ia hanya bisa mengalihkan rasa ngilernya dengan menyedot perlahan es teh yang sudah tersaji sejak awal. Pria di depannya sedikit tersenyum melihat ekspresi Laila.

"Mbak Cahaya mau nyicipi punya saya?" tawarnya sambil menunjuk mangkoknya.

Cepat Laila menggeleng lalu melirik pada Abdul yang ikut tersenyum sambil mengangkat piring lauknya.

"Kalau begitu sabar, ya, Mbak. Nanti kita tungguin sampai selesai makannya, kok."

Astaghfirullah, sabaaar.

Ekor mata Laila merekam cara makan Gus Faqih. Selama pria itu makan di dalem mbahti-nya biasanya dia hanya berdiri di belakangnya. Tak berani menatap bagaimana cara pria itu melahap setiap makanan yang dia buat. Namun sekarang, Laila diberi tempat tepat di depan pria berjanggis tipis itu.

Gadis manis itu menyembunyikan tangannya ke bawah meja saat melihat kulit tangan Gus Faqih yang terlihat lebih bersih darinya tengah mengaduk-ngaduk nasi dalam mangkok rawonnya. Rasa malu mulai menjalari tubuh dan pikiran Laila. Insecure itu datang tanpa diundang. Jika begini saja dia sudah malu, bagaimana nanti jika dia harus menyuapkan nasi ke mulutnya?

Netranya beralih pada Abdul yang juga nampak menikmati makannya. Hatinya berkecamuk, apa dia harus meminta pesanannya di bungkus saja? Tapi dia juga sudah lapar.

Nasi di mangkok Gus Faqih sudah sisa separuh, sedang piring Abdul sudah hampir bersih. Seorang gadis berjilbab hitam datang membawa nampan pesanan Laila. "Maaf, ya, Mbak. Pesanannya baru datang. Soalnya proses wadernya yang agak lama!" ucap gadis itu sambil menurunkan piring dan cowek berisi sambal dari nampan.

Laila mengurai senyum sambil mengangguk, meski hatinya masih saja merutuk. Begitulah manusia, masih bisa menampilkan wajah manis meski hati uring-uringan. Gadis itu tersenyum lega mendapat anggukan Laila.

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang