Hujan kembali turun. Perlahan membasahi tanah yang masih belum sepenuhnya kering karena sisa hujan semalam. Gerimis syahdu.
Gus Faqih menunggu teh jahenya di samping dapur. Kemeja yang tadi dipakai, sudah dia lepas. Berganti dengan sebuah kaos dalam putih berlengan pendek.
Meski hanya menggunakan kaos, kopyah hitam masih bertengger di atas kepalanya. Dia menyulut tembakau yang tadi dia ambil dari dhalem. Tembakau yang biasanya hanya digunakan oleh mbahkungnya untuk menjamu tamu yang merokok. Karena keluarga besar Gus Faqih sama sekali tak ada yang merokok, kecuali dirinya.
Sudah cukup lama dia tidak menghisap batang tembakau itu. Terakhir seingat dia adalah saat Sarah meninggalkannya dengan tuduhan bahwa dia sama sekali tak berperasaan karena telah mengabaikan janji mereka untuk bertemu dengan sang abi waktu itu.
"Bolehkah aku meragukanmu, kali ini?" tanya Sarah yang enggan menoleh pada Gus Faqih di sampingnya.
Gus Faqih sangat menyadari kesalahannya. Dia bukan tak sengaja lalai pada janjinya. Namun, dia memang sengaja menghindar karena hatinya masih meragu.
"Boleh," jawabnya singkat.
Dia tak sadar, bahwa jawaban singkat itu begitu menyakiti Sarah. Mata gadis itu memanas, mengijinkan genangan air muncul di sana.
"Kenapa?" Suaranya sedikit bergetar. Ia sungguh sangat kecewa akan jawaban yang dia terima tadi. Padahal dia berharap, bahwa pria di sampingnya itu akan menjawab tidak boleh. Nyatanya, semudah itu dia meluncurkan jawaban singkatnya yang sangat menohok.
"Karena aku memang masih belum bisa membuktikan apapun padamu tentang perasaanku."
Sarah mengigit bibirnya, ia menahan bulir bening itu agar tak sampai jatuh di depan Gus Faqih. Matanya mengerjap-ngerjap pelan ke arah berlawanan. Sementara jari jemari lentik itu menggenggam erat tali dari sling bagnya.
Apa yang bisa dia tanyakan lagi, jika orang yang diharapkannya saja tak yakin akan perasaannya sendiri. Apa yang bisa dia harapkan, jika orang yang dia pikir mampu mengambil tanggung jawab atas dirinya, nyatanya tak bisa bertahan sedikitpun. Dadanya bergemuruh hebat.
"Apa aku punya salah?" bulir bening itu menitik di pipinya.
"Tidak ada."
"Apa aku tidak pantas untukmu?" Gadis itu masih berusaha kuat untuk mengeluarkan semua pertanyaan di benaknya.
"Bukan begitu."
"Lalu?"
Gus Faqih terdiam. Dia pun tak bisa menjelaskan secara gamblang saat itu, karena perasaannya juga masih sangat terluka.
"Atau aku hanya salah paham pada perasaanmu selama ini?"
Sarah mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.
"Bukan begitu, Sarah."
"Lalu apa? Jelaskan padaku! Agar aku tak perlu suudzon sama kamu, Mas!"
Wajah gadis itu terangkat. Pupil cokelatnya menatap tepat di mata Gus Faqih. Penuh dengan kesedihan dan tanda tanya.
Ini pertama kalinya buat mereka saling menatap satu sama lain cukup lama. Bahkan tak pernah Gus Faqih sangka bahwa momen seperti ini justru datang saat mereka sama-sama terluka. Dia lebih terluka saat melihat Sarah juga mengurai air mata di depannya.
Sarah yang selalu terlihat kuat, ceria, dan juga energik. Sarah yang tak pernah mengeluh meski selelah apapun dia mengemban tugas di kampus. Sarah, seorang gadis keturunan Arab yang dia sukai sejak lama, kini menangis karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...