"Ini ndak bener, bro! Kalau kamu nikah sama Nuri, artinya kamu bakal sepupuan juga sama Sarah. Yang bakal tersakiti ndak cuma kamu, Qih. Tapi juga mereka berdua. Iya ndak, Kang?" Abib mengharap Arif akan membenarkan ucapannya.
Gus Faqih menoleh pada Arif yang nampak melempar pandang ke tengah kolam. Mereka bertiga tengah berhenti di alun-alun kota yang mempunyai sebuah kolam ikan di sisi lapangan. Arif memilih duduk bersebelahan dengan Gus Faqih dalam satu bangku. Sedang Abib, memilih bangku lainnya di sebelah Gus Faqih.
"Hati kamu gimana, Qih?"
Gus Faqih menyimpul senyum. Pandangannya tertunduk menatap souvenir pernikahan yang kini dia pegang. Sebuah tasbih dari kaoka bertuliskan huruf inisial Sarah dan suaminya.
Perlahan wajah itu memerah. Ada guratan kesedihan yang dia tahan lewat rahang yang terlihat mengeras. Jemarinya yang semula hanya menyentuh huruf-huruf itu, kini juga sudah terkepal, menggenggam erat tasbih berwarna cokelat itu.
Arif menyentuh pundak Gus Faqih, lalu perlahan menepuknya. Seolah ingin menyalurkan kekuatan pada pria itu. Gemetar Gus Faqih menyentuh pelipisnya. Menekan dengan sekuat tenaga di sana, agar air matanya tidak sampai jatuh. Namun sayang, hatinya tak mengijinkan itu.
"Allah ...." lirihnya disertai isakan tertahan dari bibirnya.
Abib ikut menatapnya pilu. Dia bahkan belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta, tapi melihat sahabatnya begitu patah, sepertinya dia mulai mengerti. Bahwa apa yang dirasakan Gus Faqih pastilah jauh lebih perih dibanding perkiraannnya. Karena ini juga pertama kalinya buat Abib menyaksikan seorang pria menangis hanya karena wanita.
Malu? Gus Faqih nyaris tak ingat lagi akan rasa malu di depan Arif dan Abib. Hatinya bagai diremas, diperah sarinya hingga habis. Rasa sakitnya tak tertahan. Cemburu, marah pada dirinya sendiri karena menyerah begitu mudah, dan patah karena melihat air mata Sarah. Dia bahkan benar-benar merasa tidak menjadi laki-laki sejati. Benar kata Sarah, bahwa dia sudah menyerah sebelum berjuang.
Arif menghela nafas berat meski tangannya masih bertengger di pundak Gus Faqih. Dia juga tak pintar menenangkan seseorang lewat kata-kata. Akan tetapi dengan tidak meninggalkan Gus Faqih sendirian saat ini, setidaknya dia sudah berusaha untuk memberi tahu pada sahabatnya itu, bahwa dia akan tetap berada di sisi Gus Faqih bagaimanapun keadaannya.
***
Hujan baru saja reda saat Abdul memarkir mobil di depan kediaman Kyai Maksum. Gus Faqih memang meminta untuk diantar ke sana daripada langsung pulang ke Pesantren Al-Falah. Selain karena ingin menutupi kondisi matanya yang sembab, Gus Faqih juga merasa lebih tenang jika berada di dekat mbahkungnya.
Lekas ia masuk ke dalam setelah mengucap salam. Beruntung semua orang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Nyai Hasanah sedang menyimak hafalan para pengurus. Kyai Maksum sedang mengisi kajian. Keluarga mbak sepupunya juga tengah keluar. Tersisa Laila yang saat itu tengah sibuk membereskan ruang tengah.
Netra gadis manis itu mengikuti langkah Gus Faqih yang langsung masuk kamar tanpa bicara sepatah katapun. Seperti biasa, Abdul─sang supir menyusul di belakang sambil membawa beberapa tas berkat. "Punya, Guse," ujarnya singkat sambil menyodorkan tas itu pada Laila.
Gus Faqih menutup pintu kamarnya. Kali ini dia juga menguncinya. Karena tak ingin seorangpun masuk dan menemukan dirinya yang tengah terisak di sisi pintu.
Tangisnya ternyata belum usai. Lukanya masihlah basah. Seperti tanah yang baru saja tersiram hujan. Wajahnya bersembunyi di balik dua lengannya. Pundaknya naik turun karena isakan. Berkali-kali rapalan istighfar juga dia lafalkan lirih.
Allah ...
Jika rasa sakit ini adalah penebus dari dosaku
Karena telah menyimpan perasaan pada gadis yang belum halal bagiku
Maka kuatkan aku hingga akhir, ya Robb ...
Jika rasa sakit ini bisa sedikit meringankan hisabku nanti
Maka berilah aku rasa ikhlas dalam menjalaninya
Sesungguhnya perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa ku tahan
Sesungguhnya perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa kuhilangkan
Tanpa ijin-Mu ya Rabb ...
Sungguh aku takkan mampu
Allah ...
Sesakit ini ya Allah ...
Sungguh rasa sakitnya tak terperih
Aku rindu ya Allah ...
Aku rindu ...
"Astaghfirullah hal adziiim ...." Suara Gus Faqih bergetar. Bayangan Sarah terus saja bermain dalam pikirannya. Senyumnya, candanya, merengutnya, bahkan tangisannya seolah diputar berulang kali di kepalanya.
Sungguh penyesalan memang akan selalu ada di belakang. Apa yang dia anggap benar dahulu, nyatanya ia sesalkan hari ini. Melepas gadis seperti Sarah yang selalu bisa mengimbanginya dalam hal apapun, adalah sebuah kebodohan terbesar baginya.
***
Sarah sudah berusaha untuk menahan tangisnya, tapi bulir bening itu tak mau berkompromi. Dia terus saja mengalir, membentuk parit kecil dipipi merah Sarah. Nuri sendiri juga merasa bingung saat melihat Sarah buru-buru masuk ke dalam kamar dan ingin menghapus riasan. Padahal para tamu masih banyak yang belum datang.
"Aku pusing, Nuri." Hanya itu alasan Sarah agar Nuri mau membawanya turun dari kuade.
Sesampainya di dalam kamar, tangisnya pecah. Sarah menutup pintu kamar segera setelah Nuri mengantarnya masuk. Ia bahkan tak membolehkan Nuri untuk ikut masuk ke dalam kamar. Dia hanya meminta tolong pada Nuri untuk memberinya waktu beristirahat sebentar.
Tanpa ada curiga sedikitpun, Nuri akhirnya setuju. Dia membiarkan Sarah berada dalam kamar untuk beberapa saat. Sementara dirinya mulai memberi alasan pada keluarga serta tamu-tamu yang bertanya tentang keberadaan Sarah.
Beralih pada Sarah, dia tengah menatap dirinya di depan cermin. Apa yang salah pada dirinya hingga Gus Faqih tak mau memperjuangkannya? Lalu kenapa pria itu malah menerima Nuri dengan mudah? Alasan apa yang membuat Gus Faqih malah menjatuhkan pilihan pada gadis yang baru dikenalnya daripada gadis yang paling dia kenal?
Sarah menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Bibirnya juga ia gigit dengan sekuat tenaga, menahan sakit dalam hatinya. Hingga ia pun terhempas di sisi dipan. Menangis di sana tanpa suara. Tangannya merengkuh sprei bertabur bunga di sampingnya.
Mereka sama-sama terluka. Satu dalam penyesalan. Satunya lagi dalam balutan pertanyaan. Luka yang sama dalam dua hati yang berbeda.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu itu Hujan [END]
Teen Fiction"Dalam kehidupan, rasa rindu, sedih, kecewa, dan juga terluka itu sama seperti hujan. Meski banyak orang yang tak menyukainya, sebenarnya hal itu adalah rahmat dari Allah. Nah, jika kita menyadari rahmat itu, maka kita pasti akan menikmati apa yang...