5 - Salting

2.4K 399 102
                                    

Assalamualaikum sahabat..

Cuma mau ingetin, jangan lupa koment dan tekan bintang di pojok bawah ya

Kalau perlu share cerita ini sebanyak-banyaknya sama temen2 yang lain. Hehe hehe..

Siapa tau bisa bikin saya makin semangat nulisnya.
😬😬😬

__________________________



Masih tersenyum pada takdir kali ini

Pertemuan yang terkisah di antara kami

Masih menyisakan tanya ..
____________________________________

Laila sibuk menyuapi Ning Iro di depan TV. Sesekali melirik ke arah meja makan di belakangnya. Tempat Gus Faqih menikmati mie instannya.

Kalau tidak ingat lagi di dhalem, tentu tadi ia sudah akan langsung mengomeli Gus Faqih habis-habisan. Beruntung, Mbak Tun memberi kode dengan bibirnya yang tak bersuara membentu kata guse, guse berulang kali. Dan sekarang, ia harus terjebak dalam suasana tak nyaman di dalam kediaman Pak Yai.

“Duh, Le! Mie instan itu ndak baik loh kalau banyak-banyak!” tegur Nyai Hasanah seraya menata meja makan agar lebih rapi.

“Kan kalau banyak-banyak Mbahti. Ini cuma satu saja kok!”

“Kamu ini, bisa aja kalau disuruh jawab.”

Gus Faqih melirik Laila yang tampak memalingkan muka karena bersirobok dengannya. Lagi-lagi ia tersenyum melihat Laila yang nampak salah tingkah di depannya. Tak menyangka, ia akan bertemu dengan gadis itu lagi.

“Mbak Laila, Iro mau mimik.”

Laila menelan salivanya. Bagaimana ia harus mengambil air yang letaknya sangat berdekatan dengan Gus Faqih? Berpura-pura tak mengenal saja rasanya sudah tak nyaman. Apalagi harus berbasa-basi mengucap permisi untuk mengambil air ke sana.

Duh, mati aku kali ini,’ batin Laila.

“Mbaak …!” Ning Iro mulai mengguncang lengan Laila manja. Sedikit merengek.

“Enggeh, sebentar diambilkan dulu ya.”

Laila meletakkan piring nasi Ning Iro. Lalu bergegas berjalan perlahan menuju meja makan. Nyai Hasanah malah pergi meninggalkan mereka bertiga entah ke mana.

Laila menghentikan langkahnya. Menatap punggung yang tampak membelakanginya. Degup jantungnya lebih kencang dari bunyi bedug hari raya.

Sedikit ragu, beberapa kali ia menoleh ke arah Gus Faqih dan Ning Iro bergantian. Seandainya saja, Ning Iro diperbolehkan minum air kran, atau air kemasan biasa di dapur. Mungkin saat ini, ia sudah mengambil jalan keluar dari tempat itu.

“Mau ambil air?” tanya Gus Faqih yang sudah menoleh ke arah Laila sejak tadi.

Pendengarannya cukup peka pada suara Ning Iro meski berlomba dengan suara film kartun di televisi dan suara bacaan rotib di musholla putri. Laila membentuk senyum di bibirnya sambil mengangguk tak nyaman. Gus Faqih tersenyum lagi, lalu memindah teko air di sampingnya ke depan.

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang