18 - Waktu untu ikhlas

696 155 27
                                    

Gus Faqih nampak tengah menderas Alquran di taman belakang. Taman yang juga berada tepat di depan dapur kotor pesantren. Beberapa kali dia mencoba untuk merebahkan kepala di ayunan kayu kesukaan mbahtinya itu. Karena menahan rasa berat pada kelopak matanya yang sembab beserta pening yang menyapa kepalanya sesekali. Mungkin karena semalam dia sudah banyak menangis.

Laila menatapnya dari balik jendela dapur saat dia tengah mencuci sayuran. Ada apa dengan gusnya hari ini? Dia tampak lebih pendiam dari biasanya.

Mbak Tun menyodorkan nampan berisi teh jahe hangat ke depan Laila. "Jangan dipandangin terus, ndak baik," ucapnya sambil menunjuk teh di tangannya dengan dagu.

"Ini apa, Mbak?"

"Antarkan sana! Daripada cuma lihatin dari sini."

"Ndak mau, ah." Laila menolak.

"Loh, piye toh? Ayo, tugasmu iki!"

"Ini tugas Laila belum selesai." Laila mengangkat sekeranjang sayur di hadapannya.

"Halah, wes, ini dulu!"

Mbak Tun sedikit memaksa Laila dengan menarik tangan gadis itu dan meletakkan nampan di atasnya. Ekspresi wajahnya mulai serius dengan titahnya itu. Laila bisa apa selain menurutinya. Mau tidak mau ia pun melangkah keluar dari dapur menuju Gus Faqih.

Entah kenapa, setiap kali Laila mendekat pada pria yang tengah memejamkan matanya itu, jantungnya seolah berdentum sangat hebat. Kali ini pun begitu. Langkah kakinya melambat saat ia melihat Gus Faqih membenarkan posisi duduknya.

Awalnya dia bermaksud untuk meletakkan nampan itu diam-diam, lalu meninggalkannya di atas meja tanpa harus menganggu Gus Faqih. Karena saat ini Gus Faqih terlihat tengah terlelap sambil memegang mushafnya. Mungkin dengan tidak bersuara, dia tidak akan membangunkan Gus Faqih.

Wajah sembab itu kembali tenang, meski sesekali alisnya bergerak membentuk lengkungan. Bagai wajah polos anak kecil yang tengah tidur. Laila menatapnya sambil berjingkat perlahan mendekatinya.

Dengan sangat hati-hati Laila memindah secangkir wedang jahe dari atas nampan di tangannya ke atas meja. Usahanya berhasil. Namun saat dia berbalik akan pergi, tak sengaja kakinya menginjak patahan ranting kecil di samping meja.

Krek ....

Jelas saja bunyi itu langsung membangunkan Gus Faqih. Wajah Laila meringis. Dia tak langsung membalik badan ke arah Gus Faqih. Karena sudah bisa dipastikan bahwa pria itu pasti sudah terjaga dan mungkin kini tengah menatapnya.

"Mbak Cahaya?" Gus Faqih memanggil namanya.

Ish, bodohnya Laila! rutuknya sambil berbalik badan.

"Nggeh, Guse."

Wajah Laila tertunduk karena malu. Dia bersiap dengan segala candaan yang akan Gus Faqih lontarkan padanya.

"Makasih!" ucap Gus Faqih pelan.

Laila mengangkat wajahnya. Tumben gus di depannya ini tidak menggodanya. Dia bahkan mengira bahwa Gus Faqih pasti akan mengolok-ngoloknya tanpa ampun seperti biasanya. Entah dengan ucapan cie, ataupun yang lainnya. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda.

Ah bukan sedikit, tapi memang berbeda. Ada yang baru Laila Sadari. Wajah Gus Faqih tak secerah biasanya. Sembab di matanya bahkan sangat terlihat jelas meski dia menundukkan pandangan. Mengundang tanya lebih banyak dalam hati Laila.

Tidak, Laila bukan hanya ingin bertanya. Melainkan dia khawatir. Kenapa seorang pria periang seperti Gus Faqih tiba-tiba saja bermuram durja.

Laila menarik langkah mundur setelah menjawab ucapan terima kasih dari Gus faqih. Bagaimana mungkin dia bisa bertanya, akan sangat lancang baginya jika sampai ingin tahu tentang permasalahan cucu bu nyainya itu. Sangat tidak mungkin pula Gus Faqih akan menceritakan masalah pribadinya pada Laila.

Rindu itu Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang